Kanwil Ditjenim Riau Buka Layanan Eazy Passport di Mall Ciputra Seraya
DEN Support BUMN Rusia Investasi PLTN di Sultra
Gugatan Pilkada Siak (Lagi): Antara Lucu, Nekat dan Salah Alamat

Oeh Ilham Muhammad Yasir, SH, L.LM (Anggota dan Ketua KPU Provinsi Riau 2014 – 2019 dan 2019 – 2024, dan saat ini adalah Mahasiswa Program (S3) Doktor Ilmu Hukum Tatanegara (HTN) Universitas Islam Riau).
KALAU Anda orang hukum, mungkin baiknya duduk sejenak. Bila bukan, secangkir teh hangat bisa jadi pilihan bijak.
Sebab kabar dari Siak ini terasa lebih seperti episode sinetron politik ketimbang perkara konstitusional. Seorang calon wakil bupati yang tidak menang, dan berjalan sendiri tanpa pasangannya, konon mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Bukan menggugat hasil suara, tapi mempertanyakan periodesasi lawan. Sebuah manuver yang—jika bukan akrobat hukum—barangkali bisa disebut komedi ringan pasca PSU.
Bukan untuk membantah hasil suara, tapi untuk mempertanyakan masa jabatan paslon petahana (03) yang kalah. Sebuah manuver yang jika tidak disebut akrobat politik, mungkin cocok disebut komedi ringan.
Pilkada Siak pasca PSU pada 22 Maret 2025 telah menghasilkan kemenangan bagi pasangan Afni–Syamsurizal (Paslon 02), dengan perolehan sebanyak 82.586 suara, unggul dari petahana Alfedri–Husni (Paslon 03) yang memperoleh sebanyak 82.292 suara. Sementara Paslon 01 (Irving–Sugianto) tertinggal jauh di angka 37.854 suara.
Infonya, setelah KPU Siak menetapkan pleno rekapitualasi hasil pada Senin, 24 Maret 2025 pukul 15.30 WIB. Sesuai ketentuan, batas pengajuan permohonan ke MK adalah 3x24 jam, yaitu hingga Rabu, 26 Maret 2025 pukul 23.59 WIB,, tadi malam. Artinya, permohonan sudah harus didaftaran paling terakhir sebelum pukul 23.59 Wib ke MK.
Berdasarkan Pasal 157 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 dan Pasal 3 ayat (1) PMK No. 3 Tahun 2024, hanya pasangan calon secara lengkap yang dapat mengajukan permohonan sengketa hasil ke MK. Permohonan yang diajukan hanya oleh calon wakil bupati tanpa pasangannya bukan hanya cacat formil, tetapi cacat secara subjek hukum.
Selain itu MK juga pernah menolak permohonan. Misalnya, Putusan No. 120/PHPU.D-XV/2017 (Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara), Mahkamah menolak permohonan karena diajukan oleh salah satu calon saja.
Begitu pula terkait ambang batas untuk Kabupaten Siak dengan jumlah penduduk antara 250.001–500.000 jiwa adalah 1,5% dari total suara sah (202.732 suara), yaitu sekitar 3.041 suara. Paslon 01 tertinggal 44.732 suara dari pemenang, jauh di luar ambang batas tersebut. Maka, dari sisi materiil pun permohonan tidak layak diperiksa lebih lanjut.
Menariknya, sebagaimana laporan yang diterbitkan oleh media online: MimbarDesa.com(https://mimbardesa.com/detail/2107/diduga-didanai-paslon-03-sugianto-gugat-periodesasi-bupati-alfedri-ke-mk), terdapat dugaan bahwa gugatan ini didanai oleh salah satu Paslon yang lain untuk mengugat periodesasi Bupati Alfedri (03).
Jika benar, maka ini bukan lagi soal hasil pemilihan, tetapi strategi politik yang diselundupkan ke ranah konstitusional. Mahkamah Konstitusi bukan ruang manuver politik, melainkan forum keadilan yang tunduk pada hukum acara yang ketat.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya literasi hukum dalam dunia politik. Konstitusi bukan ruang bebas ekspresi politik tanpa dasar. Setiap permohonan harus memenuhi syarat formil, materiil, dan etik hukum. Jika tidak, permohonan seperti ini hanya akan menjadi tontonan yang lucu bagi para akademisi hukum, dan preseden buruk bagi demokrasi kita.
Secara normatif, MK adalah lembaga penjaga konstitusi (guardian of the constitution), bukan ruang kompromi atau panggung sandiwara politik. Jika benar gugatan yang diajukan Calon Wakil Bupati 01 tidak ditujukan untuk menggugat hasil pemilihan secara sah, melainkan dimaksudkan untuk menyerang personal calon lain atau mengusik legitimasi periodesasi, maka hal ini menunjukkan betapa keruhnya praktik politik elektoral di tingkat lokal.
Manuver semacam ini bukan hanya menyalahgunakan hak konstitusional, tetapi juga dapat mencederai integritas lembaga peradilan konstitusi. Penggunaan Mahkamah Konstitusi sebagai instrumen politik adalah bentuk deviasi yang berbahaya.
Apalagi, jika penggugat menyadari sejak awal bahwa dirinya tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), namun tetap memaksakan diri hanya demi manuver opini atau menciptakan ketidakstabilan pasca pemilu. Ini bukan hanya salah tempat, tetapi juga salah niat.
Dalam masyarakat demokratis, semua pihak yang ikut serta dalam kontestasi politik seharusnya memahami bahwa sengketa hasil pemilihan bukanlah jalan untuk 'membalas kekalahan', melainkan forum hukum terbatas yang tunduk pada aturan dan syarat yang ketat. Mendorong ruang hukum menjadi alat tawar-menawar politik jangka pendek akan merusak kepercayaan publik terhadap proses hukum dan keadilan itu sendiri.
Publik harus terus diedukasi agar tidak ikut-ikutan terseret dalam narasi hukum yang kosong dasar. Selain itu, penting bagi MK untuk secara tegas menolak dan menyatakan permohonan semacam ini tidak dapat diterima, agar tidak menjadi yurisprudensi yang membuka celah pemanfaatan MK untuk agenda non-konstitusional. Sebab bila dibiarkan, maka ruang peradilan kita tidak akan steril dari kepentingan-kepentingan politis yang tidak berdasar hukum. Semoga.(*)
Tulis Komentar