63 Peserta Ikuti Seleksi Petugas Haji Daerah di Kemenag Riau
Hewan Penting Bagi Ekosistem, Gajah Punya Hak untuk Hidup dan Mencari Makan
![](https://hariantimes.com/foto_berita/20962301734-screenshot_20241030_205337_chrome.jpg)
Ditulis oleh: Zulmiron/Wartawan Hariantimes.com
PROGRAM agroforestri di wilayah Blok Rokan telah berhasil dikembangkan oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).
Buktinya, 225 hektare lahan sudah dikonversi menjadi kawasan agroforestri dengan total yang sudah ditanam sebanyak 32.500 pohon.
Disamping itu, sudah terdapat 4 Kelompok Tani Hutan Binaan Rimba Satwa Foundation (RSF). Bahkan, Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya binaan RSF ini telah menerima bantuan bibit kambing sebagai inisiasi Silvipastora.
Manager Education Program RSF Solfarina saat diwawancarai wartawan liputan PENA 2024 ke Agroforestri Koridor Gajah di Duri, Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau beberapa waktu lalu menjelaskan, program agroferestri ini tujuannya untuk mengatasi konflik antara manusia dan gajah. Dan program ini menjadi pilot project kegiatan restorasi yang sebelumnya dihubungkan untuk mitigasi konflik satwa dan manusia.
Disamping itu, program agroforestri ini juga untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat dan pemulihan habitat gajah.
“Secara umum, program yang diimplementasikan di landskap koridor Balai Raja, Giam Siak Kecil, Provinsi Riau ini berupa pengembangan sistem agroforestri di lahan-lahan masyarakat yang kerap berkonflik dengan gajah. Bahkan masyarakat yang lahannya berada di home-range dan perlintasan gajah dilibatkan dengan menanam berbagai jenis tanaman yang rendah gangguan dari gajah, namun bernilai ekonomi tinggi,” sebut Solfarina.
Menurut Solfarina, inisiatif program agroforestri ini memiliki manfaat yang multidimensi. Selain mendukung pengurangan jejak karbon melalui penanaman pohon, menjaga keanekaragaman hayati, memberdayakan eknomi masyarakat, juga memperbesar ruang di mana gajah dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian ruang-ruang yang berpotensi konflik akan mengecil.
Menurut Solfarina, konflik atau interaksi negatif gajah dengan manusia sebenarnya bukan hal yang baru. Kondisi itu terjadi paralel dengan proses hilangnya habitat atau hilangnya hutan di Riau. Manusia masuk ke areal perlintasan gajah kemudian melakukan aktivitas seperti berkebun.
"Konflik antara gajah dan manusia terus terjadi. Masalah utamanya, karena gajah itu kehilangan habitat. Maka timbul interaksi negatif, baik itu merugikan gajah maupun merugikan masyarakat yang tinggal di perlintasan tersebut. Namun demikian, kami sudah membuat pilot project melalui program agroforestri untuk memitigasi konflik atau mitigasi negatif antara gajah dan manusia. Selain itu kami melakukan research terlebih dahulu terhadap tanaman-tanaman apa yang tidak disukai oleh gajah. Kita turun ke lapangan dan dapatkan hasil tanaman-tanaman yang kurang disukai gajah, tapi memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat. Salah satu tanaman itu Jengkol, Petai, Gaharu, Matoa, Durian, Pulai dan tumbuhan lainnya," beber Solfarina.
Untuk mengatasi konflik gajah dengan manusia ini, sebut Solfarina, pelajari tingkah lakunya. Karena masing-masing gajah itu beda-beda. Sama halnya seperti manusia. Ada yang agresif, kalem dan agak liar. Kalau gajah-gajah remaja yang jantan itu sangat agresif, agak nakal dan sedikit bandel. Karakteristik gajah ini perlu kita pelajari, karena saat teman-teman kita melakukan patroli bisa mengetahui seberapa jauh mereka seharusnya berdekatan dengan gajah. Misal 50 meter. Kemudian bagaimana penanganan ketika berhadapan langsung dengan gajah. Tidak panikan dan bagaimana gajah itu merasa tidak terancam. Jadi secara keseluruhan hewan itu sama. Ketika berjumpa dengan manusia itu dia akan menghindar. Begitu juga dengan gajah.
“Jadi kita tidak menjinakkan gajah, tapi kita mengetahui karakteristiknya dan mempelajari ketika kita berjumpa dengan gajah," sebut Solfarina.
Langkah yang urgen dilakukan untuk memitigasi interaktif negatif ini, lanjut Solfarina, yakni memberi peringatan dini ke masyarakat. Dan strategi untuk mewujudkan konservasi gajah yang telah dilakukan seperti pemanfaatan teknologi dengan pemasangan GPS Collar, penguatan sinergi pengembangan masyarakat untuk edukasi, pengembangan habitat dan koridor untuk gajah serta pertanian agroforestri.
"Jadi ketika gajah ini mengirimkan sinyal, kita akan sampaikan lewat whatspp group. Dan masyarakat yang berada di sekitar itu akan waspada melakukan blokade dan penggiringan. Jadi dari 176, yang teratasi itu 156. Ini sebagai dampak dari efek GPS Collar. Disamping GPS Collar itu, teman-teman patroli juga standby di lapangan. Dalam satu bulan itu 7 sampai 10 hari standby bersama BKSDA Riau. Jadi masyarakat itu tidak merasa sendiri. Itu yang dirasakan masyarakat dari dulu. Masyarakat itu nggak ada tempat untuk memberitahu kalau kami ini ada kerugian secara terus menerus. Merasa sendiri. Kalau ada gajah mati, baru heboh. Kalau masyarakat yang rugi, nggak ada terperhatika. Nah itulah salah satu teknik kita untuk melakukan pendampingan secara masif dilapangan. Kawan-kawan patroli standby tinggal di rumah masyarakat dalam 7 hari," tutur Solfarina.
Kalau bicara Giam Siak Kecil (GSK) dan Balai Raja, ungkap Solfarina, yang rutin di Balairaja gajahnya hanya tinggal 2 ekor. Sedangkan yang ada di GSK ada sekitar 60 sampai 70 ekor. Nah untuk di Balairaja secara umum, jalur yang lama masih dilewati. Tetapi, karena gajah itu jantan kadang-kadang meleset 2 kilometer dari tempat biasa. Karena mungkin kebutuhan makannya berkurang dari tempat biasa. Mungkin ada pembangunan juga di tempat biasanya.
"Kalau di Balai Raja, lebih banyak diluar Suaka Margasatwa (SM) dan banyak di HTI. Pergerakannya masih banyak disitu," katanya.
Menyoal fokus kegiatan agroforestri yang dilaksanakan oleh RSF, Solfarina menyampaikan, sudah multi spesies. Selain Gajah, juga ada Harimau Sumatera dan Lutung Sumatera.
“Khusus untuk Gajah Sumatera, RSF bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan BKSDA,” katanya.
Sepanjang 2021 sampai 2023, ungkap Solfarina, berdasarkan data RSF tercatat 178 konflik antara gajah dan manusia. 156 di antaranya dapat ditangani dengan baik. Beberapa dampak dari intervensi yang dilakukan selama 2023, dari pemantauan tim patroli di lapangan tidak ditemukan kematian gajah di Balai Raja dan Giam Siak Kecil. Serta terpantau terdapat 8 kelahiran anak gajah baru sejak tahun 2021. Lalu beberapa perkembangan dari inisiatif ini adalah penambahan area agroforestri seluas 20,5 hektar, sehingga total keseluruhan area agroforestri menjadi 225 di daerah Pinggir, Balai Raja, Pematang Pudu dan Buluh Manis.
Hidup Harmonis dengan Alam
Konflik antara manusia dan satwa liar dapat diselesaikan melalui kerjasama dan upaya bersama. Misalnya dengan menerapkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan dan menjaga kelestarian alam mereka dapat hidup harmonis dengan alam.
Upaya-upaya konkret tersebut merupakan implementasi dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Dan PHR bekerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan Rimba Satwa Foundation (RSF) terus berupaya melindungi dan melestarikan gajah dan habitatnya.
“Gajah adalah hewan yang penting bagi ekosistem. Dan mereka memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan alam,” sebut Sekretaris Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya Suparto yang telah menjadi saksi hidup transformasi hubungan manusia dan gajah di kawasan Desa Pinggir, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Sebagai pemilik lahan dan perkebunan di area yang bersempadan dengan kantong Gajah Balairaja, Suparto awalnya ikut-ikutan menggunakan petasan untuk mengusir kawanan gajah liar.
Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, Suparto mulai meragukan efektivitas cara yang justru menyakiti hewan mamalia yang terancam punah tersebut.
"Kami sadar bahwa gajah juga punya hak untuk hidup dan mencari makan. Dulu kami sering konflik dengan gajah, tapi sekarang kami bisa hidup berdampingan," ujar Suparto sembari menceritakan, dulu tahun 1995 hingga 2020 warga menggunakan cara kuno dan berbahaya tersebut untuk mengusir kawanan gajah liar. Sebab, warga selalu merasa kesal lantaran hewan berbadan bongsor tersebut acapkali memakan tanaman sawit dan karet milik warga.
Kini, Suparto dan para warga setempat telah berdamai. Apalagi sejak mengenal Rimba Satwa Foundation (RSF) yang merupakan mitra program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Suparto pun akhirnya mendapatkan edukasi dan sosialisasi.
Kelompok masyarakat tersebut kini mendapatkan solusi jangka panjang dalam mengatasi persoalan gajah yang dulu mereka anggap hama, yakni dengan menjalankan program agroforestri. Mereka pun mulai menanam tanaman yang tidak disukai gajah namun memiliki nilai ekonomi tinggi di lahan-lahan mereka.
“Kami diberikan edukasi oleh PHR dan RSF, hingga terbentuklah KTH Alam Pusaka Jaya ini,” kenangnya.
Bersama anggota KTH lainnya, Suparto saat ini mengelola program agroforestri yang merupakan program kemitraan RSF dan PHR. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi interaksi negatif dengan gajah melalui pertanian. Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman yang rendah gangguan dari gajah, tetapi bernilai ekonomi tinggi meliputi Durian, Matoa, Kopi, Alpukat dan Aren.
Mereka juga melakukan rehabilitasi habitat dengan menambah volume tumbuhan yang menjadi pakan gajah. Mereka menggarap budidaya rumput odot (Pennisetum purpureum) yang disukai gajah. Rumput itu dipelihara di sebuah pekarangan kecil di belakang rumah-rumah warga.
Saat ukurannya cukup besar, rumput-rumput itu kemudian ditanam kembali di koridor jalur gajah, tepi sungai, atau batas-batas kebun masyarakat. Tujuannya agar gajah tetap berada di jalurnya dan mendapatkan sumber makanan. Dengan cara ini, permukiman dan kebun warga tetap aman dari gajah, dan mereka dapat hidup berdampingan.
“Program ini sangat membantu dalam mengatasi interaksi negatif dengan gajah, sehingga konflik antara gajah dan manusia mengecil,” kata Suparto.
Selain agroforestri, KTH Alam Pusaka Jaya juga mengembangkan peternakan kambing bantuan dari PT Pertamina Hulu Rokan. Bantuan berupa indukan kambing dari perusahaan migas ini telah berkembang pesat.
“Untuk agroforestrinya saat ini belum membuahkan hasil dari sisi ekonomi, tapi konflik gajah-manusia mengecil. Kami saat ini juga fokus pada peternakan kambing yang dibantu PHR. Awalnya bantuan berupa indukan kambing 13 ekor (9 betina dan 3 jantan), sekarang alhamdulilah sudah 23 ekor, sangat bagus pertumbuhannya, dan kesehatannya kita pantau terus. Kami bahkan bisa berkurban dua ekor kambing tahun ini," tambah Suparto dengan bangga.
Di sisi lain, suksesnya KTH Alam Pusaka Jaya tidak lepas dari kekompakan dan rasa tanggung jawab seluruh anggota.
"Kami sering mengadakan musyawarah untuk membagi tugas dan tanggung jawab," ujar Suparto.
Konservasi Gajah Berbasis Satelit
Kelompok-kelompok gajah liar di Riau kini dapat dipantau secara realtime melalui sistim navigasi berbasis satelit (GPS). Ini berkat lima unit kalung GPS Collar yang dipasang pada pemimpin kelompok gajah.
Kalung GPS ini berfungsi untuk memonitor pergerakan dan memberikan data lokasi keberadaan kelompok gajah. Sehingga, potensi konflik gajah dan manusia dapat dimitigasi sejak dini.
Berdasarkan data RSF, sepanjang tahun 2021 hingga 2023 terdapat 178 konflik antara gajah dan manusia. Dan 156 di antaranya dapat ditangani dengan baik.
Dalam upaya penyelamatan gajah tersebut, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bekerjasama dengan BKSDA Riau dan RSF terus konsisten menjaga kelestarian alam dan hewan liar, terutama bagi satwa di wilayah kerja Rokan.
Bahkan PHR bersama mitra kerja RSF sejauh ini terus melakukan program konservasi Gajah Sumatera dengan berbagai aksi nyata. Salah satunya lewat program Agroforestri dan mensosialisasikan langsung kepada masyarakat yang berada di kantong Balai Raja dan Giam Siak Kecil, Riau.
Lalu seperti apa kontribusi PHR terhadap Agroforestri? Untuk tetap menjaga keberlangsungan habitat hewan liar, PHR bersama RSF mengembangkan pembibitan pohon-pohon yang bernilai ekonomi tinggi namun rendah gangguan gajah. Antara lain Alpukat, Durian, Petai, Jengkol dan Matoa. Sedangkan jenis tanaman untuk pakan gajah antara lain Rumput Odot.
Program ini sangat didukung oleh masyarakat yang memiliki lahan di perlintasan gajah. Dan warga pemilik lahan di lokasi-lokasi tersebut ikut mengambil bagian karena sadar akan konservasi tersebut.
"Sebenarnya bukan hanya agroforestri. Dari kita bantuannya adalah keseluruhan program konservasi multispesies. itu adalah bantuan dari kami dan ada sebagian dari BBKSDA Riau. Jika dihitung dalam jumlah rupiah, dari tahun 2016 mulai digencar-gencarkan hingga saat ini," sebut Sr Analyst Social Perfomance Support PHR, Zara Azizah.
Berapa bantuan yang disalurkan oleh PHR untuk ini? Kalau dari PHR Wilayah Kerja Rokan, sebut Zara, kerjasamanya tahun 2020 sejak alih kelola. Tapi kalau Chevron sejak tahun 2019.
"Yang jelas itu cukup besar dan bisa menyuplai atau membantu seluruh kegiatan dari konservasi multispesies.
Jadi untuk bantuan per bulan atau per tahun itu melalui kontrak swakelola. Jadi per tahun itu kita selalu merencanakan program bersama dengan RSF, kira-kira apa kegiatan di tahun ini untuk konservasi multispesies. Dan nilainya berubah-ubah tergantung kebutuhan," katanya.
Kenapa pihak PHR tertarik dengan program ini? Zara menjelaskan, PHR selama melakukan kegiatan operasi tentu secara tidak langsung memberikan dampak kepada lingkungan. Nah, upaya PHR untuk melestarikan lingkungan tersebut dengan cara konservasi multispesies ini.
Sebenarnya, sambung Zara, bukan hanya konservasi multispesies saja. Tapi ada restorasi mangrove, restorasi gambut, desa energi berdikari yaitu penggunaan biogas.
"Jadi, sebenarnya banyak kegiatan lingkungan kami. Tapi salah satu yang menjadi pilar atau yang menjadi flash SDGs dan ESG. Jadi kita ada upaya untuk menjawab SDGs dan ESG," katanya.
Selama ini, ada tidak gangguan terhadap operasi PHR terhadap habitat yang selalu melintasi rute tersebut semisal konflik dengan Harimau atau hewan lainnya?
Dengan tegas Zara menyampaikan, sejauh ini belum ada. Namun untuk Harimau sejauh ini masih sebatas isu.
'Jadi kami belum menemukan ada beberapa dari teman-teman kerja kami yang melihat harimau. Namun saat didatangi dan dilihat oleh pihak RSF, tidak ada. Dan ternyata itu bukan jejak kaki Garimau. Malah justru banyaknya Beruang. Jadi bukan Harimau. Karena sampai saat ini kita masih mencari lokasi titik Harimau Sumatera. Dan jangan sampai itu masuk ke dalam wilayah operasional kami," pungkas Zara.
Kalau dengan gajah bagaimana? Apakah terganggu dengan rute ini? Zara menyebutkan, tidak. Karena kebetulan tidak bersinggungan wilayah secara langsung.
"Memang tidak bersinggungan wilayah. Misalkan sumur atau pipa-pipa. Tapi memang sebagian wilayah berkonflik itu merupakan desa-desa operasional kita. Tapi kalau dari koridor itu tidak bersinggungan," katanya lagi.
Lalu Upaya PHR kedepannya untuk melestarikan lingkungan ini? Kedepannya, menurut Zara, PHR tetap berupaya untuk melestarikan lingkungan melalui konservasi multispesies ini. Harapannya dari kegiatan konservasi multispesies ini, selain bisa mengedukasi masyarakat, juga bisa menciptakan lingkungan yang saling menerima satu sama lain baik satwa maupun manusianya.
"Ini bentuk komitmen TJSL PHR dalam menjaga habitat hewan liar di WK Rokan dan lingkungan. Kami terus memperhatikan dan mensosialisasikan akan pentingnya menjaga satwa serta lingkungan kepada masyarakat," sebut Zara.
Menyoal capaian program konservasi di wilayah kerja Rokan, Zara menjelaskan, untuk kegiatan patroli berbasis Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART) Patrol System, cover area patroli 140.000 hektare. Yakni terdapat 34 desa intervensi patrol, 18 desa di Balai Raja dan 16 desa di Giam Siak Kecil.
Dari kegiatan patroli berbasis SMART Patrol System ini, pada tahun 2021 sebanyak 74 jerat berhasil dimusnahkan. Tahun 2022 sebanyak 42 jerat berhasil dimusnahkan dan tahun 2023 sebanyak 35 jerat berhasil dimusnahkan.
SMART merupakan sistem pemantauan berbasis spasial yang dikembangkan untuk mendukung berbagai kebutuhan dalam perlindungan biodiversitas dan kawasan konservasi melalui perencanaan, penyimpanan, analisis dan laporan data.
Dengan menggunakan SMART, data mengenai aktivitas pemantauan kawasan atau patroli hutan, baik data potensial, ancaman, maupun pengamatan biodiversitas dapat dikelola dengan baik dan diakses lebih cepat untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi terkini dari suatu kejadian di dalam Kawasan.
Penggunaan SMART, memungkinkan data patroli hutan menjadi terhimpun, baik yang berhubungan dengan potensi, penemuan satwa, maupun ancaman, menjadi terukur dan terstandarisasi sehingga evaluasi dan perencanaan dapat dilakukan dengan baik.
Sedangkan, tujuan dari kegiatan ini di antaranya untuk meningkatkan pemahaman mengenai metode SMART Mobile System, sebuah fitur baru dari pengembangan sistem SMART yang telah ada. Dimana sebelumnya tim patroli RSF telah menggunakan SMART berbasis dekstop dengan menginputan data secara manual.(*)
Tulis Komentar