Tren Bahasa Gen Z Ditinjau Secara Aksiologis
Penulis: Kurnia Budiyanti, M.Pd (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA Riau dan mahasiswa Ilmu Keguruan Bahasa Program Doktor Universitas Negeri Padang)
Penggunaan media sosial harus diakui turut memberikan dampak negatif terhadap cara berkomunikasi generasi Z, baik bahasa tutur maupun bahasa tulis.
Salah satu fenomena yang terjadi akibat perkembangan zaman saat ini yaitu menggunakan bahasa yang tidak santun (kasar) yang justru dianggap suatu tren dan gaul, terutama di media sosial.
Mereka dengan mudah dan santai mengucapkan bahasa yang tidak santun dan menggunakan kata-kata yang berisikan makian, ejekan, hasutan, kebohongan dan kebencian yang oleh UNICEF disebut aksi cyber bullying.
Sementara keterampilan berkomunikasi yang baik dalam berbahasa tidak hanya melibatkan pemahaman yang baik tentang tata bahasa, kosa kata yang tetap. Akan tetapi, juga mampu mengungkapkan ide pikiran secara baik, jelas dan efektif.
Oleh karena itu, sangatlah penting memahami filosofi pembelajaran bahasa ditinjau secara aksiologis.
Secara mendasar, bahasa adalah salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk lain ciptaan sang Khalik. Ketika dikatakan bahwa tumbuhan berkomunkasi dengan menggunakan sinyal kimia dan hewan berkomunikasi dengan sinyal berbasis suara, maka bentuk komunikasi antar manusia adalah Bahasa. Bahasa juga merupakan fitrah dan kebutuhan pokok yang dimiliki manusia.
Allah SWT menurunkan wahyu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah berupa bahasa, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa yang paling representatif untuk menggambarkan firman-firmanNya kepada umat manusia. Bahkan manusia pun disatukan dengan berbagai bahasa dari seluruh penjuru dunia, sehingga secara ontologis, keberadaan bahasa dan penguasaan bahasa menjadi sangat penting bagi manusia.
Faktanya, bahasa sebagai mata pelajaran di sekolah ataupun di perguruan tinggi, baik bahasa nasional, daerah maupun asing, disamping mempertimbangkan landasan ontologis yang berkaitan dengan isi materi pelajaran dan landasan epitemologis yang berkaitan dengan metode pembelajarannya, juga membahas landasan aksiologis yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran bahasa khususnya kebermanfaatannya bagi siswa.
Secara umum, ilmu tidak akan berkembang apabila tidak memiliki manfaat. Oleh karena itu landasan aksiologis justru menjadi landasan pertama yang dipertimbangkan mengapa bahasa dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran utama di sekolah dan di perguruan tinggi.
Pada dasarnya, aspek aksiologis menekankan ke arah kegunaan dan kebermanfaatan ilmu yang harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.
Pada pembelajaran bahasa, landasan aksiologis berkaitan dengan bagaimana kegunaan atau kebermanfaatan bahasa sebagai ilmu yang diharapkan mampu menanamkan kesadaran tentang nilai dan moral yang khas yang berlaku di masyarakat.
Bahasa sebagai salah satu media komunikasi utama memiliki peranan penting dalam menunjang keberlangsungan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu, tidak salah apabila bahasa masuk sebagai salah satu bidang studi utama yang diajarkan di sekolah. Hal ini dikarenakan penerapan bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya, merupakan hal yang jelas sekali urgensinya.
Jujun S Suriasumantri bahkan mempertegas, tanpa bahasa maka kita tidak bisa mengomunikasikan pengetahuan kepada orang lain. Maka peranannya yang penting ini berkenaan pula dengan aksiologi pembelajarannya sebagai salah bidang ilmu yang harus dikuasai siswa.
Manfaat lain dari mempelajari bahasa yang menjadi pusat perhatian para peneliti adalah bahasa sebagai sarana mengajarkan kesantunan pada siswa.
Teori kesantunan ini dikemukan oleh Penelope Brown dan Stephen C Levinson. Akan tetapi, teori ini banyak mendapat kritik. Salah satunya, perbedaan budaya dan cara menginterpretasikan dan mengkonseptualisasikan kesopanan pada setiap bahasa.
Maka dari itu, aksiologis dalam hal ini menyangkut kegunaan atau kebermanfaatannya sebagai sarana mencapai tujuan agar siswa mampu memiliki kesantunan dalam berbahasa atau menggunakan bahasa sesuai dengan nilai dan moral yang berlaku di masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan Tuhan saling berinteraksi, berbagi perasaan dan bertukar pikiran, itulah yang dapat disebut sebagai bentuk perwujudan bahasa dan pikiran yang menampakkan manfaat lain dari pembelajaran bahasa.
Dengan bantuan bahasa dan pemikiran dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa tetap dapat berkomunikasi antara makhluk sosial. Bahasa dan berpikir adalah dua potensi yang mungkin pasti dimiliki manusia.
Oleh karena itu, ketika bahasa mampu mengukur kadar berpikir seseorang dan kecerdasan bahasa dapat menunjukkan logika berpikir seseorang, maka arah dan target pembelajaran bahasa seharusnya terencana dengan sangat baik dalam rangka membangun kemampuan berbahasa peserta didik.
Merujuk pada kurikulum pendidikan berbasis aqidah Islam, setidaknya ada tiga arah pembelajaran bahasa: meningkatkan level berpikir sesuai perkembangan usia anak; melatih anak fokus dan berkonsentrasi tinggi; dan melejitkan kecerdasan anak.
Sedangkan target pembelajaran bahasa yaitu mampu menyampaikan kebenaran dengan bahasa yang berpengaruh yaitu bahasa yang baik. Maka bisa kita pahami bahwa bahasa yang berpengaruh bukan saja bahasa yang kalimatnya tersusun sempurna tetapi pilihan katanya membuat kalimat itu mudah dipahami dan gaya bahasanya mampu menggugah pikiran dan menyentuh jiwa manusia.
Ringkasnya, bahasa tidak sekedar sarana interaksi antar manusia, akan tetapi seharusnya juga mampu memberikan motivasi bagi manusia dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan. Inilah yang dikenal dengan aksiologis atau penggunaan bahasa.
Maka, menjadi sangat penting agar generasi Z, para pendidik dan tentunya negara tidak hanya menjaga kelestarian bahasa, tetapi juga mendudukan kembali nilai-nilai aksiologis dalam proses pembelajaran bahasa dengan baik dan benar.(*)
Tulis Komentar