Empat Tahun Berdiri, Diskominfo Rohil Raih Berbagai Prestasi
Pleno Perdana PWI Pusat Tetapkan HPN 2025 di Provinsi Riau
Atasi Kondisi Darurat, PHR Latihan Gabungan di Pelabuhan Dumai
Implementasi Program Agroforestri di Balai Raja, Gajah dan Manusia Kini Hidup Harmoni
PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) telah berhasil mengembangkan program agroforestri di wilayah Blok Rokan.
Buktinya, sejumlah capaian program agroforestri yang dilaksanakan bersama Yayasan Rimba Satwa Foundation (RSF) telah menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan.
Dimana melalui kegiatan agroforestri berbasis Smart Patrol System, 87 kepala keluarga di Desa Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sudah terlibat dalam program agroforestri. Selain itu, 225 hektare lahan sudah dikonversi menjadi kawasan agroforestri dengan total yang sudah ditanam sebanyak 32.500 pohon.
Disamping itu, hingga tahun 2023 sudah terdapat 4 Kelompok Tani Hutan Binaan RSF. Bahkan, Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya binaan RSF telah menerima bantuan bibit kambing sebagai inisiasi Silvipastora. Dan pada tahun yang sama (2023, red), terhitung 1.28 ton serapan karbon dari program agroforestri yang sudah dilaksanakan.
Manager Education Program RSF Solfarina saat diwawancarai wartawan liputan PENA 2024 ke Agroforestri Koridor Gajah di Duri, Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin (12/08/2024) menjelaskan, tujuan dari Agroferestri ini adalah untuk mengatasi konflik antara manusia dan gajah. Dan ini merupakan pilot project, karena agroforestri ini kegiatan restorasi yang sebelumnya dihubungkan untuk kegiatan mitigasi konflik satwa dan manusia.
Disamping itu, program agroforestri ini juga bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat dan pemulihan habitat gajah.
Dan secara umum, pelaksanaan program yang diimplementasikan di landskap koridor Balai Raja, Giam Siak Kecil, Provinsi Riau ini berupa pengembangan sistem agroforestri di lahan-lahan masyarakat yang kerap berkonflik dengan gajah. Bahkan masyarakat yang lahannya berada di home-range dan perlintasan gajah dilibatkan dengan menanam berbagai jenis tanaman yang rendah gangguan dari gajah, namun bernilai ekonomi tinggi.
Inisiatif program agroforestri ini memiliki manfaat yang multidimensi. Selain mendukung pengurangan jejak karbon melalui penanaman pohon, menjaga keanekaragaman hayati, memberdayakan eknomi masyarakat, juga memperbesar ruang di mana gajah dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian ruang-ruang yang berpotensi konflik akan mengecil.
"Sekarang kita bikin pilot project kegiatan agroforestri ini untuk memitigasi konflik atau mitigasi negatif antara gajah dan manusia. Namun kita melakukan research terlebih dahulu terhadap tanaman-tanaman apa yang tidak disukai oleh gajah. Kita turun ke lapangan dan dapatkan hasil tanaman-tanaman yang kurang disukai gajah, tapi memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat. Salah satu tanaman itu Jengkol, Petai, Gaharu, Matoa, Durian, Pulai dan tumbuhan lainnya," beber Solfarina
Lantas bagaimana awal sejarah berdirinya Rimba Satwa Foundation (RSF), Solfarina menyebutkan, RSF berdiri sejak tahun 2016. Awalnya, RSF didirikan sebagai bentuk kepedulian dan kasihan dengan gajah yang ada di Duri khususnya.
"Awalnya kami dari kelompok pecinta alam. Individu-individu kami ini orang-orang yang suka naik gunung dan masuk hutan. Waktu itu ada pelatihan anggota baru. Dan pada saat itu kita jumpa gajah sakit, lalu kita merasa kasihan. Karena gajah yang sakit itu kondisinya memprihatinkan. Dimana kakinya buntung dan ada infeksi dibagian perut. Akhirnya kami ikuti gajah tersebut. Dan kita berpikir kalau kelompok pecinta alam tersebut cakupannya lebih kecil, karena badan hukumnya kurang kuat. Makanya kita bikin satu yayasan berbadan hukum. Lalu pada tahun 2016 itu resmi berdiri RSF. Dari situ basic kita sebenarnya nggak ada yang dari konservasi, biologi dan kehutanan. Tapi kita belajar dan banyak cari tahu serta berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti World Wildlife Fund (WWF) waktu itu dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Dari situ kita mulai bentuk program-program kecil seperti restorasi tanaman pisang yang disukai gajah. Karena itu, sampai saat ini kita bisa turut serta membantu pemerintah dalam upaya konservasi" tutur Solfarina.
Menyoal fokus kegiatan agroforestri yang dilakanakan oleh RSF, Solfarina menyampaikan, sekarang multi spesies. Di antaranya Gajah Sumatera, Harimau Sumatera dan Lutung Sumatera. Khusus untuk Gajah Sumatera, melanjutkan program-program sebelumnya.
"Gajah Sumatera kita bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan BKSDA," sebut Solfarina sembari menjelaskan trik RSF untuk mengatasi konflik gajah dengan manusia.
"Sebelumnya kita pelajari tingkah lakunya. Jadi tingkah laku dan perilaku gajah itu harus kita ketahui terlebih dahulu. Karena masing-masing gajah itu beda-beda. Sama halnya seperti manusia. Ada yang agresif, kalem dan agak liar. Kalau gajah-gajah remaja yang jantan itu sangat agresif, agak nakal dan sedikit bandel. Karakteristik gajah ini perlu kita pelajari, karena saat teman-teman kita melakukan patroli bisa mengetahui seberapa jauh mereka seharusnya berdekatan dengan gajah. Misal 50 meter. Kemudian bagaimana penanganan ketika berhadapan langsung dengan gajah. Tidak panikan dan bagaimana gajah itu merasa tidak terancam. Jadi secara keseluruhan hewan itu sama. Ketika berjumpa dengan manusia itu dia akan menghindar. Begitu juga dengan gajah. Jadi kita tidak menjinakkan gajah, tapi kita mengetahui karakteristiknya dan mempelajari ketika kita berjumpa dengan gajah," beber Solfarina.
Untuk memitigasi interaktif negatif ini, sambung Solfarina, langkah yang urgen dilakukan yakni memberi peringatan dini ke masyarakat. Dan strategi untuk mewujudkan konservasi gajah yang telah dilakukan seperti pemanfaatan teknologi dengan pemasangan GPS Collar, penguatan sinergi pengembangan masyarakat untuk edukasi, pengembangan habitat dan koridor untuk gajah serta pertanian agroforestri.
"Jadi ketika gajah ini mengirimkan sinyal, kita akan sampaikan lewat whatspp group. Dan masyarakat yang berada di sekitar itu akan waspada melakukan blokade dan penggiringan. Jadi dari 176, yang teratasi itu 156. Ini sebagai dampak dari efek GPS Collar. Disamping GPS Collar itu, teman-teman patroli juga standby di lapangan. Dalam satu bulan itu 7 sampai 10 hari standby bersama BKSDA Riau. Jadi masyarakat itu tidak merasa sendiri. Itu yang dirasakan masyarakat dari dulu. Masyarakat itu nggak ada tempat untuk memberitahu kalau kami ini ada kerugian secara terus menerus. Merasa sendiri. Kalau ada gajah mati, baru heboh. Kalau masyarakat yang rugi, nggak ada terperhatika. Nah itulah salah satu teknik kita untuk melakukan pendampingan secara masif dilapangan. Kawan-kawan patroli standby tinggal di rumah masyarakat dalam 7 hari," tutur Solfarina.
Kalau bicara Giam Siak Kecil (GSK) dan Balai Raja, ungkap Solfarina, yang rutin di Balairaja gajahnya hanya tinggal 2 ekor. Sedangkan yang ada di GSK ada sekitar 60 sampai 70 ekor. Nah untuk di Balairaja secara umum, jalur yang lama masih dilewati. Tetapi, karena gajah itu jantan kadang-kadang meleset 2 kilometer dari tempat biasa. Karena mungkin kebutuhan makannya berkurang dari tempat biasa. Mungkin ada pembangunan juga di tempat biasanya.
"Kalau di Balai Raja, lebih banyak diluar Suaka Margasatwa (SM) dan banyak di HTI. Pergerakannya masih banyak disitu," katanya.
Gajah dan Petani Hidup Berdampingan
Konflik antara manusia dan satwa liar dapat diselesaikan melalui kerjasama dan upaya bersama. Misalnya dengan menerapkan praktik-praktik pertanian berkelanjutan dan menjaga kelestarian alam mereka dapat hidup harmonis dengan alam.
Upaya-upaya konkret tersebut merupakan implementasi dari program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Dan PHR bekerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan Rimba Satwa Foundation (RSF) terus berupaya melindungi dan melestarikan gajah dan habitatnya.
“Gajah adalah hewan yang penting bagi ekosistem, dan mereka memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan alam,” sebut Sekretaris Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya Suparto yang telah menjadi saksi hidup transformasi hubungan manusia dan gajah di kawasan Desa Pinggir, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Sebagai pemilik lahan dan perkebunan di area yang bersempadan dengan kantong gajah Balairaja, Suparto awalnya ikut-ikutan menggunakan petasan untuk mengusir kawanan gajah liar. Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, Suparto mulai meragukan efektivitas cara yang justru menyakiti hewan mamalia yang terancam punah tersebut.
"Kami sadar bahwa gajah juga punya hak untuk hidup dan mencari makan. Dulu kami sering konflik dengan gajah, tapi sekarang kami bisa hidup berdampingan," ujar Suparto sembari menceritakan, dulu tahun 1995 hingga 2020 warga menggunakan cara kuno dan berbahaya tersebut untuk mengusir kawanan gajah liar. Sebab, warga selalu merasa kesal lantaran hewan berbadan bongsor tersebut acapkali memakan tanaman sawit dan karet milik warga.
Kini, Suparto dan para warga setempat telah berdamai. Apalagi sejak mengenal Rimba Satwa Foundation (RSF) yang merupakan mitra program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Suparto pun akhirnya mendapatkan edukasi dan sosialisasi.
Kelompok masyarakat tersebut kini mendapatkan solusi jangka panjang dalam mengatasi persoalan gajah yang dulu mereka anggap hama, yakni dengan menjalankan program agroforestri. Mereka pun mulai menanam tanaman yang tidak disukai gajah namun memiliki nilai ekonomi tinggi di lahan-lahan mereka.
“Kami diberikan edukasi oleh PHR dan RSF, hingga terbentuklah KTH Alam Pusaka Jaya ini,” kenangnya.
Bersama anggota KTH lainnya, Suparto saat ini mengelola program agroforestri yang merupakan program kemitraan RSF dan PHR. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi interaksi negatif dengan gajah melalui pertanian. Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman yang rendah gangguan dari gajah, tetapi bernilai ekonomi tinggi meliputi Durian, Matoa, Kopi, Alpukat dan Aren.
Mereka juga melakukan rehabilitasi habitat dengan menambah volume tumbuhan yang menjadi pakan gajah. Mereka menggarap budidaya rumput odot (Pennisetum purpureum) yang disukai gajah. Rumput itu dipelihara di sebuah pekarangan kecil di belakang rumah-rumah warga.
Saat ukurannya cukup besar, rumput-rumput itu kemudian ditanam kembali di koridor jalur gajah, tepi sungai, atau batas-batas kebun masyarakat. Tujuannya agar gajah tetap berada di jalurnya dan mendapatkan sumber makanan. Dengan cara ini, permukiman dan kebun warga tetap aman dari gajah, dan mereka dapat hidup berdampingan.
“Program ini sangat membantu dalam mengatasi interaksi negatif dengan gajah, sehingga konflik antara gajah dan manusia mengecil,” kata Suparto.
Selain agroforestri, KTH Alam Pusaka Jaya juga mengembangkan peternakan kambing bantuan dari PT Pertamina Hulu Rokan. Bantuan berupa indukan kambing dari perusahaan migas ini telah berkembang pesat.
“Untuk agroforestrinya saat ini belum membuahkan hasil dari sisi ekonomi, tapi konflik gajah-manusia mengecil. Kami saat ini juga fokus pada peternakan kambing yang dibantu PHR. Awalnya bantuan berupa indukan kambing 13 ekor (9 betina dan 3 jantan), sekarang alhamdulilah sudah 23 ekor, sangat bagus pertumbuhannya, dan kesehatannya kita pantau terus. Kami bahkan bisa berkurban dua ekor kambing tahun ini," tambah Suparto dengan bangga.
Di sisi lain, suksesnya KTH Alam Pusaka Jaya tidak lepas dari kekompakan dan rasa tanggung jawab seluruh anggota.
"Kami sering mengadakan musyawarah untuk membagi tugas dan tanggung jawab," ujar Suparto.
Konservasi Gajah Berbasis Satelit
Kelompok-kelompok gajah liar di Riau kini dapat dipantau secara realtime melalui sistim navigasi berbasis satelit (GPS). Ini berkat lima unit kalung GPS Collar yang dipasang pada pemimpin kelompok gajah.
Kalung GPS ini berfungsi untuk memonitor pergerakan dan memberikan data lokasi keberadaan kelompok gajah. Sehingga, potensi konflik gajah dan manusia dapat dimitigasi sejak dini.
Berdasarkan data RSF, sepanjang tahun 2021 hingga 2023 terdapat 178 konflik antara gajah dan manusia. Dan 156 di antaranya dapat ditangani dengan baik.
Dalam upaya penyelamatan gajah tersebut, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bekerjasama dengan BKSDA Riau dan RSF terus konsisten menjaga kelestarian alam dan hewan liar, terutama bagi satwa di wilayah kerja Rokan.
Bahkan PHR bersama mitra kerja RSF sejauh ini terus melakukan program konservasi Gajah Sumatera dengan berbagai aksi nyata. Salah satunya lewat program Agroforestri dan mensosialisasikan langsung kepada masyarakat yang berada di kantong Balai Raja dan Giam Siak Kecil, Riau.
Lalu seperti apa kontribusi PHR terhadap Agroforestri? Untuk tetap menjaga keberlangsungan habitat hewan liar, PHR bersama RSF mengembangkan pembibitan pohon-pohon yang bernilai ekonomi tinggi namun rendah gangguan gajah. Antara lain Alpukat, Durian, Petai, Jengkol dan Matoa. Sedangkan jenis tanaman untuk pakan gajah antara lain Rumput Odot.
Program ini sangat didukung oleh masyarakat yang memiliki lahan di perlintasan gajah. Dan warga pemilik lahan di lokasi-lokasi tersebut ikut mengambil bagian karena sadar akan konservasi tersebut.
"Sebenarnya bukan hanya agroforestri. Dari kita bantuannya adalah keseluruhan program konservasi multispesies. itu adalah bantuan dari kami dan ada sebagian dari BBKSDA Riau. Jika dihitung dalam jumlah rupiah, dari tahun 2016 mulai digencar-gencarkan hingga saat ini," sebut Sr Analyst Social Perfomance Support PHR, Zara Azizah.
Berapa bantuan yang disalurkan oleh PHR untuk ini? Kalau dari PHR Wilayah Kerja Rokan, sebut Zara, kerjasamanya tahun 2020 sejak alih kelola. Tapi kalau Chevron sejak tahun 2019.
"Yang jelas itu cukup besar dan bisa menyuplai atau membantu seluruh kegiatan dari konservasi multispesies.
Jadi untuk bantuan per bulan atau per tahun itu melalui kontrak swakelola. Jadi per tahun itu kita selalu merencanakan program bersama dengan RSF, kira-kira apa kegiatan di tahun ini untuk konservasi multispesies. Dan nilainya berubah-ubah tergantung kebutuhan," katanya.
Kenapa pihak PHR tertarik dengan program ini? Zara menjelaskan, PHR selama melakukan kegiatan operasi tentu secara tidak langsung memberikan dampak kepada lingkungan. Nah, upaya PHR untuk melestarikan lingkungan tersebut dengan cara konservasi multispesies ini.
Sebenarnya, sambung Zara, bukan hanya konservasi multispesies saja. Tapi ada restorasi mangrove, restorasi gambut, desa energi berdikari yaitu penggunaan biogas.
"Jadi, sebenarnya banyak kegiatan lingkungan kami. Tapi salah satu yang menjadi pilar atau yang menjadi flash SDGs dan ESG. Jadi kita ada upaya untuk menjawab SDGs dan ESG," katanya.
Selama ini, ada tidak gangguan terhadap operasi PHR terhadap habitat yang selalu melintasi rute tersebut semisal konflik dengan Harimau atau hewan lainnya?
Dengan tegas Zara menyampaikan, sejauh ini belum ada. Namun untuk Harimau sejauh ini masih sebatas isu.
'Jadi kami belum menemukan ada beberapa dari teman-teman kerja kami yang melihat harimau. Namun saat didatangi dan dilihat oleh pihak RSF, tidak ada. Dan ternyata itu bukan jejak kaki Garimau. Malah justru banyaknya Beruang. Jadi bukan Harimau. Karena sampai saat ini kita masih mencari lokasi titik Harimau Sumatera. Dan jangan sampai itu masuk ke dalam wilayah operasional kami," pungkas Zara.
Kalau dengan gajah bagaimana? Apakah terganggu dengan rute ini? Zara menyebutkan, tidak. Karena kebetulan tidak bersinggungan wilayah secara langsung.
"Memang tidak bersinggungan wilayah. Misalkan sumur atau pipa-pipa. Tapi memang sebagian wilayah berkonflik itu merupakan desa-desa operasional kita. Tapi kalau dari koridor itu tidak bersinggungan," katanya lagi.
Lalu Upaya PHR kedepannya untuk melestarikan lingkungan ini? Kedepannya, menurut Zara, PHR tetap berupaya untuk melestarikan lingkungan melalui konservasi multispesies ini. Harapannya dari kegiatan konservasi multispesies ini, selain bisa mengedukasi masyarakat, juga bisa menciptakan lingkungan yang saling menerima satu sama lain baik satwa maupun manusianya.
"Ini bentuk komitmen TJSL PHR dalam menjaga habitat hewan liar di WK Rokan dan lingkungan. Kami terus memperhatikan dan mensosialisasikan akan pentingnya menjaga satwa serta lingkungan kepada masyarakat," sebut Zara.
Menyoal capaian program konservasi di wilayah kerja Rokan, Zara menjelaskan, untuk kegiatan patroli berbasis Smart Patrol System, cover area patroli 140.000 hektare. Yakni terdapat 34 desa intervensi patrol, 18 desa di Balai Raja dan 16 desa di Giam Siak Kecil.
Dari kegiatan patroli berbasis Smart Patrol System ini, pada tahun 2021 sebanyak 74 jerat berhasil dimusnahkan. Tahun 2022 sebanyak 42 jerat berhasil dimusnahkan dan tahun 2023 sebanyak 35 jerat berhasil dimusnahkan.(*)
Penulis: Zulmiron (Wartawan Hariantimes.com)
Tulis Komentar