PILIHAN
+
Rektor UIR Prof Syafrinaldi: Mimpi Kami Masih Besar Lagi
Dibaca : 215 Kali
IZI Bersama Kanwil DJBC Riau Berbagi Paket Sembako di Cinta Raja
Dibaca : 210 Kali
PSU Siak Butuh Anggaran Hampir Setengah Miliar Rupiah
Dibaca : 233 Kali
Ketua PWI Riau Raja Isyam Apresiasi PHR Santuni Yatim dan Janda Wartawan
Dibaca : 242 Kali
Soal Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017
MK Tolak Uji Materi Presidential Threshold

MK menolak permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Jakarta, Hariantimes.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Yakni terkait dengan aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan oleh sejumlah aktivis demokrasi.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK RI, Jakarta, Kamis (24/10/2018).
Mahkamah, menurut Anwar, dalam pertimbangannya mengatakan argumentasi para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Karena rumusan Pasal 222 UU Pemilu tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda, karena telah sangat jelas.
Mahkamah, juga membantah argumentasi para pemohon yang menyebutkan aturan ambang batas pencalonan presiden menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal.
"Hal demikian meskipun sekilas tampak logis namun mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang," jelas Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan Mahkamah.
Menurut Mahkamah, kondisi ini menjadi relevan karena hanya partai politik yang berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dan partai politik tersebut harus terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Perkara ini diajukan oleh sejumlah aktivis demokrasi, yaitu Busyro Muqoddas, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili Titi Anggraini.
Para pemohon dalam dalilnya mempermasalahkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. Menurut para pemohon, ketentuan yang didelegasikan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945 adalah "tata cara" pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pemohon menyebut ambang batas 25 persen berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu telah menambahkan pembatasan baru yang sebetulnya tidak diatur dalam ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Pemohon kemudian menilai ketentuan a quo bertentangan dengan norma Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai dengan orisinalitas isi atau perumusan norma tersebut, yakni sesuai dengan pemilu yang saat itu akan dilaksanakan.(*/ron)
Tulis Komentar