Kanal

Sang Penolong

Oleh: Syaukani Al Karim (Sastrawan dan budayawan Riau dan Ketua Umum DPH LAMR Kabupaten Bengkalis)

NAMANYA bukan Tengku Kamariah, bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Dia bukan keturunan bangsawan,  hanya seorang perempuan jelata. 

Dia tumbuh dalam  keluarga yang terbilang “paria” secara ekonomi. Kondisi itu memacu dirinya untuk bergerak maju, dan berjuang memperbaiki keadaan. Meski bukan bangsawan, namun Dia sepertinya mewarisi semangat dua orang perempuan penting,  dalam sejarah kerajaan Siak Sri Inderapura itu.

Dari Tengku Kamariah, Dia sepertinya belajar, tentang bagaimana mencintai tanah yang memberikannya kehidupan. Belajar tentang mental seorang pejuang, dan keridhaan sorang isteri.  Kita tahu, Tengku Kamariah, bahu-membahu mendampingi suami dalam perang melawan kerajaan Johor, yang merupakan tanah kelahirannya, melawan ayah, abang, dan kakak sendiri, demi kecintaan kepada suami dan tanah Siak.

Dari Tengku Agung Sultanah Latifah, Dia sepertinya belajar tentang semangat kemajuan dan keinginan memperbaiki negeri. Apa yang telah dilakukan Tengku Agung Sultanah Latifah, dengan mendirikan Sultanah Latifah School, telah menginspirasi dan memberinya keyakinan, bahwa seorang perempuan, yang tak mustahil pula adalah dirinya, dapat membuat negeri Siak, menjadi negeri yang maju, kuat, dan penuh harapan.

Namanya bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Di tengah segala keterbatasannya, Dia, terus membekali diri dengan ilmu, karena Dia percaya bahwa hanya dengan pengetahuan, segala sesuatu akan sampai pada tujuan.

Dia juga meningkatkan diri dengan menulis dan kelihaian literasi, karena Dia pastilah sangat paham dengan ungkapan “verba volant scripta manent”, atau mengetahui ungkapan Melayu yang menyebut bahwa “manusia mati meninggalkan nama”, atau telah memahami pandangan pilsuf Francis Bacon: Usia manusia pendek, tapi manusia dapat memperpanjangnya melalui karya. 

Namanya bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Ketika Namanya mulai disebut dalam kontestasi kepemimpinan Siak, banyak yang memuji, dan tak sedikit pula yang mencibir. Dalam sebuah diskusi menjelang petang merembang di cafe “bandar gemintang” [star city], seorang sahabat mengatakan bahwa Dia belum waktunya untuk muncul, karena tembok politik masih terlalu kuat untuk bisa Dia robohkan. Jika Dia gagal, bisa berpengaruh pada karirnya di masa datang.

Kemunculannya dipandang sebagai melawan takdir. Aku tak sependapat dengan itu, karena semua tembok dapat dihancurkan, seperti halnya tembok Konstatinopel di Romawi Timur. Tak ada pula konsep melawan takdir, yang ada adalah bahwa setiap kita berjuang membuat kurva takdir masing-masing.

Namanya bukan Tengku Kamariah dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Dia menyimak dan menafsir keadaan. Membaca dirinya penuh seluruh, sambil berkelana dalam lorong kisah tentang eksistensi perempuan dalam perjalanan sejarah Siak.

Akhirnya Dia sampai pada sebuah pintu makrifat, bahwa kekuatan utama dari Tengku Kamariah, Tengku Agung Sultanah Latifah, dan juga dirinya, adalah keperempuanannya. Mereka bertiga adalah perempuan, dan perempuan berakar pada kata “empu”, yang bermakna kreator, pengasuh, pemelihara, dan pemulia kehidupan.

Sebagai perempuan dia paham, bahwa dia memiliki kekuatan yang penuh untuk menaklukkan kerasnya kehidupan. Perempuan memang ditakdirkan untuk mementahkan kemustahilan.

Ketika banyak orang meragukan kemampuannya bertarung dalam dunia yang dianggap sangat lelaki, agresif, kejam dan anomi, yaitu politik, Dia memutuskan untuk terus maju.

Dia sepertinya sangat sadar dengan kekuatan dan keranggiannya sendiri. Mungkin dalam hati kecilnya berkata: “Jika kami dapat menyimpan lelaki dalam  rahim dan menghidupinya selama sembilan bulan sepuluh hari, maka kami dapat pula mengalahkannya dalam sebuah pertempuran.”

Saya ingat sebuah kalimat dari bhiksu sastra Hasan Junus, dalam karyanya Burung Tiung Seri Gading, tentang kehebatan perempuan: “Rahasia perempuan gelap bagi lelaki, sebaliknya rahasia lelaki terang bagi perempuan, dan di mata seorang lelaki yang paling garang sekalipun, membayang wajah seorang perempuan”. Dia  sepertinya menyadari itu, bahwa perempuan memenuhi segala unsur “asnaf” politik untuk kuat, untuk bertarung, untuk menang, untuk dirindui dan dicintai.

Namanya bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Tapi sebagai perempuan, Dia, sepertinya telah memahami dengan baik, makna  dari kata Cherchez la Femme.  Kalimat Alexandre Dumas [1802-1870], dalam Mohicans of Paris itu, pastilah sudah diselaminya dalam-dalam. Dia, barangkali juga sudah  lama mafhum bagaimana kekuatan seorang perempuan, seperti perempuan  Anne Boleyn [1501-1536] yang mengubah peta kekristenan Eropa dan tradisi monarkhi  Kerajaan Inggris.

Dia juga sadar, bagaimana dengan kecerdasannya, Cleopatra, berhasil menggetarkan Romawi dan memecah-belah triumvirat, atau tentang perempuan Aisyah yang memimpin segugusan lelaki, dalam Ma’rakat al-Jamal [perang unta]. Dia pasti telah mempelajari itu.

Namanya bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Namun Dia, memutuskan maju bertarung. Dia maju bukan dengan tempik sorak, melainkan dengan ketajaman senyum, dengan gempita empati, riuh kesahajaan, dan ketinggian akalbudi.

Berbekal semangat, kelembutan, dan doa ibunya, dia mengayak Siak, meninggikan harapan di pucuk-pucuk kemegahan istana, menghilirkan cita-citanya pada arus Sungai Jantan, menjawab setiap hati yang bertanya, dan mengaransemen setiap denting rindu rakyat, menjadi melodi baru yang dapat mencabik-cabik mimpi. Dia berhasil mengokah kesadaran, bahwa masa depan Siak, akan tersulam dengan menenun kembali benang-benang harapan yang terkoyak.

Namanya bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Dia, akhirnya memenangkan pertempuran. Ketika orang-orang coba menafikannya, Dia menghadapinya dengan cara seorang perempuan yang ibu: menenangkan, meneduhkan, dan menawarkan keyakinan. Kemenangan ada padanya, pada nilai, ketulusan, dan cara perjuangannya, bukan sekedar pada angka-angka di papan penjumlahan.

Namanya bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah. Kini, Dia, menjadi pemimpin negeri istana itu. Sudah saatnya rakyat Siak bergandeng-tangan dengannya, menjemput Siak baru yang gagah namun tak jumawa, dengan membawa tepak cinta. Rakyat Siak harus menjadi sokong yang tidak membawa rebah. Selebihnya mari  berdoa agar Dia dapat menjadi menjadi penolong dalam kehidupan masyarakat dan bagi kemuliaan negeri. 

Meski dia bukan Tengku Kamariah, dan bukan pula Tengku Agung Sultanah Latifah, namun dia, berpotensi menjadi pelayan dan penolong yang baik, karena sejatinya dia bernama Afni: Seorang Penolong. Sebuah nama yang juga dipakai oleh Muhammad Al Fatih [Avni] ketika meninggikan kejayaan Turki Usmani. Insya Allah, bersama dukungan masyarakat Siak, Dia, akan dapat menjadi Afni yang ‘menjadi”. Wallahu a’lam bissawab.(*)
 

Berita Terkait

Berita Terpopuler