Kanal

RPPLH, Pondasi Riau Hijau untuk Riau Bermarwah

Dr Afni Zulkifli MSi
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru. Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TAM LHK)

Mewujudkan 'Riau Hijau' menjadi slogan Syamsuar-Edy Natar di tahun perdana kepemimpinan mereka. 

Tagline ini bahkan dijadikan tema utama saat Provinsi Riau berusia 62 tahun, yang kemudian berlanjut menjadi 'Riau Bermarwah' di hari jadi ke-63 tahun (2020).

Konsep Riau Hijau jelas memiliki esensi penting melebihi sekedar narasi ataupun selebrasi simbolis cinta lingkungan semata. Riau Hijau secara pragmatis bisa dimaknai sebagai niat baik  'menyicil hutang' generasi lalu pada alam dan lingkungan yang harus dilakukan generasi sekarang (dibaca:kita), agar kelak anak cucu tak harus menanggung apa yang dilakukan pendahulunya. Jelas bukan pekerjaan mudah.

Karena dari pengelolaan kawasan hutan yang massif sejak tahun 1970, landscape Riau telah tercabik-cabik dengan beban berbagai kebijakan multi stakeholders. Penguasaan izin skala besar, beban penguasaan lahan yang dikuasai, diklaim sepihak, bahkan digarap bukan pada peruntukannya, mulai dari yang legal sampai ilegal, menjadi warisan yang konsekuensinya masih dirasakan sampai hari ini. 

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (RPPLH) adalah pondasi utama atau tak berlebihan disebut ruh mendasar dari konsep 'Riau Hijau' Syamsuar-Edy Natar. RPPLH adalah blue print Riau Hijau. Inilah wujud nyata dari niat baik pemimpin Riau yang riil aplikatif guna menjaga amanat UUD 1945 pasal 28 H Ayat 1, bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

RPPLH merupakan amanat dari UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diharapkan mampu mengarahkan pembangunan dengan tetap menjaga fungsi lingkungan. 

RPPLH juga memiliki fungsi administrasi 'sapu jagad', karena dapat menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam RPJP, RPJM, rencana sektor, Rencana Tata Ruang Wilayah, dokumen tujuan pembangunan berkelanjutan, dokumen penyusunan KLHS, serta penerapan instrumen pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. 

UU telah mengamanatkan RPPLH harus benar-benar disusun berdasarkan hasil inventarisasi lingkungan hidup di lapangan, agar diperoleh data dan informasi valid untuk dijadikan acuan pembangunan selama 30 tahun mendatang. Sungguh durasi waktu yang sangat lama.

Andai RPPLH sudah menjadi Peraturan Daerah (Perda), mungkin tidak perlu lagi banyak instrumen termasuk KLHS. Jikapun masih menggunakan KLHS, maka lebih separuh pekerjaan KLHS telah dituntaskan dalam RPPLH.

Sekedar mengingatkan, KLHS menjadi ganjalan 'kesempurnaan' Perda RTRW Riau 2018-2038, karena disusun tak berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), sehingga bertentangan dengan aturan lebih tinggi.

Perda tersebut kemudian digugat ke Mahkamah Agung oleh Jikalahari dan Walhi. Hasilnya, dua LSM lingkungan ini menang. Tentunya menjadi pesan penting bagi para penyusun kebijakan publik untuk tak lagi menyepelekan kajian lingkungan sebagai dasar perencanaan pembangunan suatu kawasan. 

Kembali pada RPPLH, maka sudah sejatinya ini segera dituntaskan pembahasannya. Karena konsep Riau Hijau bukan semata soal menanam pohon, karena penanaman tidak akan mampu mengejar kerusakan dengan berbagai sebab yang ada (supply demand conflict).

Jika RPLLH selesai disusun dengan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya, dan sebenar-benarnya sesuai kondisi faktual di lapangan, inilah kelak warisan terbesar Syamsuar-Edy Natar untuk masa depan Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Riau. Pembangunan berkelanjutan harus mampu menyeimbangkan tiga aspek utama, yakni aspek ekonomi, pelestarian sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup.

Sudah saatnya pembangunan dengan etika antroposentrisme, sebagaimana dikatakan Wiratno (2020), ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan berpegang pada sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggungjawab, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian pada alam, prinsip no harm, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.

Karena tujuan lain RPPLH guna memperkecil dikotomi antara kebutuhan manusia yang tanpa batas dengan ketersediaan alam yang terbatas. Karena RPPLH akan memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, dan perubahan iklim. 

RPPLH harus benar-benar menjadi perhatian serius Syamsuar-Edy Natar, jika ingin mewujudkan Riau Lebih Baik, sebagaimana janji politik di masa kampanye mereka dulu.

Jangan sampai Riau kembali tertinggal dalam menyusun RPPLH, seperti halnya tertinggal dalam penyusunan RTRW bila dibanding daerah lainnya di Indonesia. RPLLH Bengkulu dan Sumatera Barat, saat ini sudah selesai. Pertanyaan 'Riau Hijau apa kabarnya?' tentu akan terjawab ketika RPPLH disahkan menjadi Perda.

Perlu diingat bahwa Riau memiliki keunikan. Daerah ini merupakan provinsi dengan luas ekosistem gambut paling besar se-Sumatera (4 juta ha) dari total ekosistem gambut Sumatera seluas 7,2 ha. Sementara tingkat pertumbuhan penduduknya sangat tinggi, tercatat 4,46 % di 2010 atau jauh di atas standart nasional 1,3 %. 

Hal yang patut jadi perhatian, karena pertumbuhan penduduk ini tidak hanya disebabkan oleh kelahiran dan kematian, tapi justru angka migrasi dan perpindahan penduduk lintas Provinsi.

Untuk itu dalam penyusunan RPPLH, Pemprov Riau harus melibatkan network multipihak, multidisiplner dan multilevel birokrasi, mengingat semua sektor kehidupan masyarakat Riau akan menjadi instrumen penting di segala aspek.

Dalam penyusunan RPPLH Riau, Syamsuar-Edy Natar hendaknya jangan hanya mengandalkan kerja birokrasi, apalagi birokrasi yang hanya mengandalkan kajian pada konsultan saja. 

Birokrasi (baca:Pejabat PNS terkait), harus mampu menyerap semangat 'Riau Hijau' sebagai perwujudan visi Gubernur, untuk kemudian dapat menerjemahkannya dalam misi-misi nyata yang tertuang di dalam RPPLH.

Jangan sampai kajian akademik RPPLH hanya sebatas dokumen asal siap berbasis proyek, atau hanya berlandaskan laporan 'Asal Bapak Senang' alias ABS semata. RPPLH harus dikawal agar mencerminkan kondisi sebenar landscape Riau hari ini, karena akan dipakai sebagai acuan perencanaan pembangunan tiga dekade ke depan. RPPLH harus siap dan lolos uji publik, karena nanti hasil akhirnya berbentuk Perda.

Harus ada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) saat menyusun RPPLH Riau. Penempatan SDM di tim penyusun RPPLH idealnya harus diisi oleh mereka yang ahli mengenai nilai-nilai luhur lingkungan hidup, berbasis budaya dan sosial masyarakat lokal, bukan semata memikirkan konsep pragmatis sisi kehutanan saja. 

Gubernur dan Wakil Gubernur harus teliti menempatkan ASN yang memiliki latar belakang pengalaman di Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini guna memastikan RPPLH  berbobot dan dapat diimplementasikan dalam penyusunan KRP (Kebijakan, Rencana dan Program).

Wajib ada orang lingkungan di dalam lingkar terdekat para pengambil kebijakan, sehingga mereka bisa memberikan input informasi yang berani kritis, jujur dan tepat untuk para pemimpin menarik kesimpulan. 

Karena kekayaan alam, apalagi yang berasal dari sumber daya hutan, selain benefit beyond boundry (memberikan manfaat lintas batas) dan multipurpose benefits (memberikan banyak manfaat), juga memiliki sifat irreversible (sulit dipulihkan seperti sedia kala). 

Terlebih lagi saat ini Riau termasuk Provinsi dengan beban terberat bidang lingkungan hidup dan kehutanan (A+), ditambah terkoreksinya pertumbuhan ekonomi dampak pandemi Covid-19. Pemda pasti akan 'memutar otak' lebih keras untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi masyarakat, dan tidak terelakkan salah satunya bermuara pada kekayaan eksploitasi alam yang ada, semisal untuk menggerakkan sektor pariwisata yang memiliki multi player effect besar di tingkat tapak.

Sebagai contoh, jumlah destinasi wisata sebelum Pandemi Covid-19 di Kabupaten Kampar, ada 88 lokasi. Di masa new normal terjadi penambahan 12 lokasi baru (kenaikan 13,6 %). Banyak lokasi wisata berbasis alam bermunculan hasil tracking masyarakat tempatan, dan menjadi harapan baru sumber pendapatan. Jika masyarakat tidak diberi pemahaman tentang konsep pariwisata berkelanjutan, akan memberi tekanan pada lingkungan di Kampar 10-20 tahun ke depan. 

Hal yang perlu diingat adalah, jumlah wisatawan selain membawa dampak positif pada perekonomian masyarakat sekitar, juga dapat menimbulkan over carrying capacity dan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya (Muhlisa, 2015). Saat lingkungan alam sudah rusak, manusia tidak bisa lagi mengambil manfaat, malah melarat. 

Untuk itu (sekali lagi) diperlukan  kehati-hatian saat mencari solusi menggerakkan ekonomi di masa pandemi. Jangan sampai hanya mengejar pertumbuhan ekonomi ala koboi versi Kenneth Boulding dalam Korten (2001), karena ini bisa menjadikan Riau justru mengulang kembali sejarah mempertaruhkan kualitas lingkungan hidupnya pada generasi mendatang.

Berbagai kebijakan moratorium izin yang telah disahkan pemerintah pusat, harus disambut oleh Pemda sebagai nafas baru mengelola kembali alam dan lingkungan sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai beban untuk pengembangan investasi ke depan. 

Pemerintah pusat dan daerah harus menyamakan persepsi tentang memberi jeda pada alam, setelah mengalami sakit parah akibat eksploitasi besar-besaran lebih dari tiga atau bahkan empat dekade lalu.

Jangan sampai mengulang sejarah kelam Pulau Jawa, yang harus kehilangan lebih dari 70 % hutannya hanya dalam kurun waktu 100 tahun saja.

Karena sebagaimana ditulis Wiratno (2020), pencapaian tertinggi manusia modern adalah ketika ia mampu mewariskan keindahan alam kepada anak cucu sebagai perwujudan dari keadilan lintas generasi.

Karena manusia dan alam adalah satu kesatuan. Namun sayangnya bahasa komunikasi alam jarang yang bisa dipahami manusia dengan lima panca inderanya. Alam lebih banyak menyampaikan pesan melalui indera kalbu dan jiwa. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi kemampuan memahami bahasa alam, namun manusia juga-lah yang terbukti mampu menghancurkannya (Al Quran.Ar Rum:42).

Seluruh komponen masyarakat Riau, dipimpin oleh Syamsuar-Edy yang memiliki semangat cinta lingkungan, harus dapat menjadi apa yang disebut Otto C Scharmer dalam The Essentials of Theory U (2018), mendorong situasi sebagai awerness-based collective actions, yakni aksi kolektif yang didasarkan pada kesadaran. Sadar untuk semakin mencintai Riau dari hati, untuk hari ini dan generasi nanti. Aksi kolektif ini disebut sebagai gerakan bersama. 

Syamsuar dan Edy Natar memiliki tanggungjawab memastikan RPPLH Riau harus se-riil mungkin dengan kondisi sebenar di tapak, bukan sebatas laporan di atas kertas semata. Sehingga RPPLH benar-benar menjadi tunjuk ajar pembangunan Riau Hijau ke depan, sebagaimana pesan budayawan Melayu Riau (Alm) Tenas Effendi (2004):

Tanda orang memegang adat, alam dijaga betul diingat. Tanda orang memegang amanah, pantang merusak hutan dan tanah.Tanda orang berpikir  panjang, merusak alam ia berpantang. Tanda orang berakal senonoh, menjaga alam hatinya kokoh. Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi. Adat hidup orang beriman, tahu menjaga laut dan hutan. Tahu menjaga kayu dan kayan. Tahu menjaga binatang hutan. Tebasnya tidak menghabiskan. Tebangnya tidak memusnahkan.Bakarnya tidak membinasakan.

Syamsuar-Edy Natar tidak akan bisa mewujudkan 'Riau Hijau' tanpa bantuan akademisi, LSM, Pers, swasta, dan berbagai komponen masyarakat lainnya. Mari kita rapatkan barisan mengawal RPPLH Riau, untuk Riau Hijau menjadi Riau Bermarwah. Sehingga Riau lebih baik akan benar-benar menjadi nyata, tak hanya kata-kata janji politik semata.(*)

Berita Terkait

Berita Terpopuler