Kanal

Ketidakrelaan Perempuan Memimpin Siak?

Oleh: Made Ali SH (Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau/Jikalahari)

MOMEN hari Kartini 21 April 2025, semestinya dirayakan penuh kebahagiaan oleh masyarakat Siak. Pertama kalinya sejak Siak menjadi Kabupten pada 12 Oktober 1999 melalui Pilkada Siak 2024, masyarakat Siak memilih Perempuan sebagai Bupati untuk memimpin Kabupaten Siak lima tahun mendatang.

Namun, pelantikan Afni sebagai Bupati Siak tertunda meski sudah memenangi dua kali pemilihan dan pemungutan suara ulang (PSU). Anehnya, pihak yang kalah calon Wakil Bupati Siak Sugianto menggugat ke MK buka karena perselisihan suara, tapi masa jabatan atau periodesasi petahana.

Pemilihan serentak 27 November 2024, Afni-Syamsurizal (Pasangan Calon nomor urut 2) menang dengan perolehan suara 82.319 (40,67 persen) disusul Paslon 3 Alfedri-Husni Merza 82.095 (40,56 persen) suara dan Paslon 1 Irving Kahar-Sugianto 37.988 suara (18,77 persen). Kemenangan Afni diluar dugaan.

Saat penghitungan suara, Paslon 1 menerima kekalahan dan mengakui kemenangan Afni. Dan mereka berkoalisi. Paslon 3 Alfedri-Husni tidak terima dengan kekalahan mengajukan gugatan PHPUKada ke MK. Hasilnya, MK memerintah KPU melakukan PSU di tiga lokasi.

Saat gelaran PSU pada 22 Maret 2025 yang diwarnai dengan isu politik uang dan netralitas ASN, Paslon 2 Afni-Syamsurizal kembali menang dengan 82.586 (40,73 persen) suara, disusul Paslon 3 Alfedri-Husni 82.292 (40,59 persen) suara, dan Paslon 1 Irving Kahar-Sugianto 37.854 (18,67 persen) suara. Kemenangan Afni ini juga diluar dugaan, sebab isu politik uang, pengerahan ASN, pengaruh jabatan Bupati yang melekat pada petahana menakutkan bagi Afni.  

Menurut saya, berlarutnya Pilkada Siak selain berdampak pada pembangunan dan pelayanan publik, hasil penelusuran yang saya lakukan, sesungguhnya ketidakrelaan menerima kepemimpinan perempuan. Salah satu buktinya, saat Afni memenangi dua kali pemilihan, suasana ucapan, perayaan dari teraju Siak hampir tidak terlihat dan terdengar, kecuali memang pendukung Afni.

Ketidakrelaan ini, sejalan dengan temuan Komnas Perempuan, istilahnya dipaksa mengundurkan diri (forced resignations).

Komnas perempuan, pada 7 November 2024 menyerukan peserta dan penyelenggara Pilkada serentak Kepala Daerah 2024 agar aktif mencegah Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pilkada Serentak 2024 pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang akan digelar serentak di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota pada 27 November 2024, namun hanya 331 calon kepala daerah perempuan (10,66%) dan 2.733 (89,34%) calon kepala daerah laki-laki yang mengikuti kontestasi Pilkada 2024.

Temuan Komnas Perempuan terkait pelaksanaan kampanye yang masih menormalisasi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berupa pernyataan seksisme, subordinasi perempuan dan kekerasan seksual. Diskriminasi atau seksisme digunakan sebagai alat kampanye untuk meraup perhatian. Di antaranya, pernyataan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1 Suswono, agar janda kaya menikahi pengangguran, Calon Gubernur Independen, Dharma mengatakan guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak  untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini.  Calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah juga melontarkan bahwa perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur. Juga terdapat baliho bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman, Harda Kiswaya - Danang Maharsa yang bertuliskan 'Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang' yang berarti 'Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria' dan pernyataan “tusuk di tengah yang sedap” sebagai pernyataan penutup yang disampaikan kandidat Murad-Michael di Maluku pada debat terbuka.

Kasus-kasus  tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang bertentangan norma-norma HAM internasional maupun Konstitusi RI.  Berdasarkan hasil pemantauan hak perempuan dalam pemilu, Komnas Perempuan  mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam kontestasi elektoral sebagai: “Segala bentuk kekerasan yang ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena partisipasi dan/atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan politik dan/atau terlibat dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu. Kekerasan ditujukan untuk membatasi, menghalangi dan melemahkan perempuan sehingga tidak setara dalam memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat, berkumpul, berekspresi atau berpendapat atas dirinya sendiri”. (Komnas Perempuan:2021).

Berdasarkan hasil kajian dan pemantauan Komnas Perempuan tinjauan dari berbagai literatur, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam Pemilu berkaitan erat dengan ragam bentuk kekerasan yang acap menyerang perempuan, baik di ranah personal, publik, mau pun negara. Bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud tampak sebagai berikut: (1). Kekerasan fisik seperti menampar, mencekik, memukul, dan lainnya yang bertujuan untuk menghalangi, merintangi atau mengurangi martabat perempuan dalam Pemilu; (2). Pelecehan (harassment); termasuk di dalamnya segala tindakan yang tidak pantas, menurunkan moral, mencemarkan nama baik dan mempermalukan korban. (3). Fitnah dan hasutan untuk melakukan kekerasan; (4) Penyerangan karakter dan penghinaan gender; (5). Pemerkosaan pada calon kandidat perempuan peserta Pemilu; (6). Pemerasan bernuansa seksual; (7). Pengekangan, pembatasan gerak, penculikan, termasuk di dalamnya penahanan dengan semewenang-wenang, terhadap perempuan; (8). Rayuan, komentar, dan ujaran seksual yang tidak diinginkan (sexist remarks); (9). Intimidasi, persekusi dan ancaman; (10). Penghilangan mata pencarian dan pemindahan tempat tinggal; (11). Pengawasan yang bias gender, baik oleh publik ataupun media (gender-biased scrutiny by the public and the media); (12). Dipaksa mengundurkan diri (forced resignations); (13). Kekerasan seksual berbasis elektronik, seperti postingan dokumen rekayasa bernuansa seksual; dan (14). Pembunuhan politisi perempuan (assassinations of women politicians/femisida).

Afni, selama masa kampanye, mengalami persis temuan Komnas Perempuan berupa penyerangan karakter dan penghinaan gender. Tidak hanya diserang saat masa kampanye dengan menjadi bahan yang disampaikan di ruang terbuka, tapi lawan politik bahkan secara terang-terangan di media sosial, menyatakan bahwa Siak belum layak untuk dipimpin oleh seorang perempuan. Mereka-seperti biasa-menggunakan dalil-dalil keagamaan, dan mendeskreditkan kemampuan perempuan. Afni juga bahkan pernah dipersekusi saat berbuka puasa di masa PSU, dan mengalami pembatasan gerak untuk bisa bertemu dengan konstituennya.

Bahkan Afni diremehkan sejak mendeklarasikan maju sebagai bakal calon Bupati Siak. Dalam politik Siak, wajar Afni "diremehkan" sebab akan melawan petahana Bupati dan Wakil Bupati yaitu Alfedri-Husni Merza yang paling siap menghadapi Pilkada Siak dengan kekuatan modal dan pengalaman politik yang mereka miliki: Alfedri adalah politisi senior yang juga Ketua PAN Riau periode 2020-2025, pernah menjabat Ketua PAN Siak, pernah menjabat Wakil Bupati Siak dua periode 2011-2019. Husni Merza pernah menjabat sebagai Direktur PT Permodalan Siak 2010-2020, kemudian dampingi Alfedri sebagai Wakil Bupati Siak periode 2021-2024.

Kekuatan Afni ada pada kekuatannya sendiri: eks tenaga ahli Menteri LHK Sit Nurbaya periode 2014-2024, eks wartawan jawa pos, dan dosen swasta di universitas Lancang Kuning.

Saat KPU Siak menetapkan tiga pasangan calon bupati-wakil bupati Siak, Afni diprediksi sulit menang. Selain melawan Alfedri-Husni, Afni juga harus melawan Irving Kahar (pensiunan birokrat Siak) dan Sugianto (bendara PKB Riau, eks anggota DPRD Riau).

Di hari Kartini 21 April 2025, Afni harus rela meninggalkan suami, anak dan istri (ini sudah dia lakukan sejak bertarung di Pilkada Siak), bahkan hanya tidur kurang dari tiga jam, rapat-rapat dari pagi hingga tengah malam, tiap menit menanggapi, menjawab dan mengabarkan perkembangan mutakhir kepada relawan, belum lagi menerima ejekan, hinaan dan pelecehan dari para lawan semata-mata untuk memperjuangkan "rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat" yang telah memilihnya sebagai Bupati Siak terpilih berupa menenangkan hak pemilih yang sudah memberikan hak pilihnya agar tidak melakukan chaos, tidak terpancing dengan ejekan dan hinaan dari pihak lawan. Yang paling berat dialami oleh Afni menurut saya adalah memastikan suara rakyat Siak yang memilih dan tidak memilihnya di Pilkada Siak masih konsisten berpartisipasi menggunakan hak suaranya bila pemungutan suara ulang jilid dua kembali dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hakim MK perlu memperhatikan dan mempertimbangkan "rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat": Afni-Syamsurizal memenangi Pilkada tanpa politik uang, bukan dari kalangan politisi dan pengusaha, mengikuti proses Pilkada dengan jujur dan adil, dan dipilih oleh rakyat Siak. Artinya, suara rakyat telah menentukan pilihannya dengan proses demokratis, bahkan kaum perempuan pula.

Arti pentingnya perempuan dalam politik, bahkan diberi ruang khusus dalam putusan MK.

MK mengabulkan permohonan dan memberi perhatian khusus pada Perempuan dalam partisipasi politik khususnya bertarung dalam helat pemilihan umum kepala daerah. Ini bentuk keberpihakan MK sebagai bentuk hak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus, dalam hal ini bagi perempuan, untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan khususnya dalam bidang politik, yang lebih khusus lagi berupa hak untuk mencalonkan diri (right to be candidate) dan hak untuk dipilih (right to be voted);

Putusan MK No Nomor 20/PUU-XI/2013 memberi perlakuan khusus kepada perempuan untuk bahkan “mengutamakan” calon perempuan dalam partisipasi politik legislative. Juga bermakna mengutamakan perempuan dalam pemilihan kepala daerah. Ini juga sebagai bentuk affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination, yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki, sekalipun dalam dinamika perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini, disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan, maka seharusnyalah aspek kepentingan gender dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan kultural.

Partisipasi perempuan dalam pemerintahan ditegaskan di dalam CEDAW Pasal 7 huruf (a) “untuk memilih dan dipilih“ dan (b) “untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat” untuk partisipasi dalam Pemilu.

Perlakuan khusus perempuan lainnya termaktub dalam putusan MK Nomor 88/PUU-XIV/2016, yang intinya menempatkan khusus perempuan boleh menjadi kepala daerah bahkan di daerah istimewa Jogjakarta. MK menyebut, dalil para Pemohon bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY bersifat diskriminatif adalah beralasan menurut hukum. UUD 1945 telah menyatakan secara tegas dalam Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Dengan demikian secara legal maupun konstitusional, diskriminasi dilarang dipraktikkan di Indonesia.

Perayaan hari Kartini setahun lalu, jelang gugatan sengketa hasil Pemilu 2024 mengemuka dalam Deklarasi Kampus Menggugat kembali yang bertajuk “Kartini Bangkit: Mengawal Putusan MK untuk Demokrasi Indonesia”, Minggu (21/4) di Balairung UGM. Sejumlah perempuan dari kalangan dosen dan mahasiswa menyampaikan orasinya sebagai bentuk keresahan perempuan terhadap perjalanan demokrasi Indonesia saat ini.

Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M. Arch., Ph.D. Guru Besar Fakultas Teknik UGM mengatakan RA Kartini menjadi simbol bagi kekuatan dan keterwakilan perempuan Indonesia. Berlatar belakang perjuangan perempuan akan pendidikan, jiwa Kartini saat ini tentu mengembang misi yang berbeda. Menurutnya, perjuangan perempuan dalam memperjuangkan hak dan kemerdekaan, bukanlah jalan yang mudah ditempuh kala itu. Sejarah perjuangan perempuan tentu tidak bisa berhenti sampai di situ. Perempuan masa kini menghadapi masalah baru di era yang baru pula. “Jika dulu RA Kartini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, maka hari ini tugas perempuan yang sudah mengenyam pendidikan inilah untuk mengembalikan fitrah demokrasi.”

“Kartini memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam bekerja dan berjuang untuk kemajuan bangsanya, karenanya saya merasa ikut bertanggung jawab karena saya orang Indonesia. Saya ingin hidup di negara di mana demokrasi dapat memberikan kesempatan yang adil dan setara bagi generasi muda,” tegas Antonella mahasiswa Fakultas Hukum UGM.

Oleh karenanya, Hakim MK perlu benar-benar memahami situasi PIlkada Siak, yang bukan saja membaca isi permohonan dan dokumen-dokumen (bukti) yang diajukan pemohon, tapi perlu ke luar dari ruang sidang MK untuk memahami suara-suara perubahan yang diinginkan masyarakat Siak, juga sebagai bentuk menagih pada MK untuk konsisten berpihak pada perempuan.(*)

Berita Terkait

Berita Terpopuler