Penulis: Zulmiron
Kelapa sawit sangat berperan dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat.
Terbukti, banyak masyarakat pemilik kebun kelapa sawit yang sukses dengan mengembangkan perkebunan sawit. Mulai dari masyarakat paling bawah, sampai dengan konglomerat hidupnya mewah dari hasil panen sawit. Benarkah demikian?
Memiliki kebun sawit hanya satu kapling saja, taraf ekonomi para petani masih jauh lebih baik dibanding menjadi buruh di sebuah pabrik. Satu kapling (dua hektare) saja, minimal bisa menghasilkan Rp3,5 juta sampai Rp4 juta dalam sebulan. Itu sudah hasil bersih, setelah dipotong upah memanen dan angkutan ke lokasi pabrik kelapa sawit.
Apa yang kini bisa dinikmati para petani, tentunya butuh perjuangan keras. Mereka tidak serta merta bisa menjadi petani sukses tanpa banting tulang dan peras keringat.
Masa-masa pahit itu, telah mereka lewati bersama sanak keluarganya. Kini mereka dapat berekspansi untuk terus mengembangkan perkebunan sawit mereka sendiri.
Salah satu contoh, Sukiman, seorang petani asal Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Riau, yang berangkat dari menggarap lahan satu kapling (2 hektare) pada tahun 2000, berkat kesabaran, ketekunan dan keuletannya kini sudah punya 5 kapling atau sekitar 10 hektare lebih kebun sawit. Dari lahan itu pula, kini mengantarkan Sukiman menjadi petani sawit yang sukses.
Bagaimana tidak? Saat ini, usaha perkebunan kelapa sawitnya sudah berkembang dengan signifikan. Bahkan dengan hasil panen, Sukiman pun bisa menghidupi keluarga dan memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya.
“Berkat sawit, kini saya punya tujuan hidup. Saya tahu bagaimana cara untuk menghidupi keluarga. Dan saya yakin mampu memenuhi kebutuhan istri dan tiga anak," ucap Sukiman saat berbincang dengan penulis seraya menyampaikan, kesuksesannya juga berkat program kemitraan dan pelatihan dari perusahaan.
"Awalnya bibit sawit yang saya tanam jenis Marihat asal Sumatera Utara. Saya lebih memilih menanam kelapa sawit awalnya hanya coba-coba. Bibit sawit yang saya tanam kala itu jenis varietas marihat asal Sumatera Utara. Karena saya nggak tahu sawit, ada yang jual bibit ya kita beli saja. Kalau nggak salah, di bungkusnya ada label Marihat," kenang pria asal Siantar, Sumatera Utara yang menjadin petani kelapa sawit binaan Asian Agri Group ini.
Awalnya, kenang Sukiman, dirinya masih awam tentang sawit. Karena orangtuanya dulu adalah seorang petani karet. Namun berkat keyakinan dan kerja keras, pada tahun 2003 bibit sawit yang ditanamnya di hamparan lahan seluas 2 hektare sudah mulai bisa panen.
"Saat awal panen, saya tidak tahu hasil sawit yang diperoleh. Karena saat itu sama sekali saya tidak paham tentang sawit. Yang saya ingat, hanya panen satu atau dua sawit yang sudah jadi," cerita Sukiman
Dan setelah bergabung dengan Asian Agri Group, Sukiman mengaku mulai merasakan ada perubahan hasil panen yang signifikan. Dimana dilihat dari TPH (kartu timbangan), per 10 hari bisa menghasilkan rata-rata 2 ton Tandan Buah Segar (TBS). Itu berarti, dalam sebulan menghasilkan rata-rata 6 ton TBS .
"Dengan bergabung dengan Asian Agri, tepatnya pada tahun 2012 kami pun bisa menambah kebun. Mereka memang betul-betul mensupport kami. Apa yang kami tidak tahu, dikasih tahu. Mulai dari hal yang sangat-sangat kecil seperti pupuk dan lainnya," ujar bapak tiga anak ini seraya menyampaikan, satu kavling bisa menghasilkan minimal Rp4 juta per bulan.
"Itu artinya, saya bisa menghasilkan minimal Rp20 juta per bulannya," ucap Sukiman.
Saat ini, berdasarkan pengakuan Sukiman, berkat kebun sawit dapat menyalurkan hobi yang sempat tertunda yakni beternak sapi.
"Hingga kini saya memiliki 36 ekor Sapi Bali. Sapi itu sudah dari 2010. Alhamdulillah, sampai sekarang belum ada saya jual. Tapi untuk kurban udah ada," katanya.
Uniknya, pria yang kini menjabat sebagai Kepala Dusun Kerinci Kanan ini mengaku tidak ingin mengarahkan anak-anaknya untuk mengelola kebun sawit. Justru ingin ketiga anaknya fokus pada pendidikan.
"Kalau saya pribadi punya prinsip seperti itu. Saya nggak mau bagi-bagi lahan. Saya utamakan anak-anak untuk sekolah. Dimana mau sekolah, kita biayai kalau mau sekolah betul-betul. Karena saya trauma. Dulu gitu sama orangtua. Dulu saya dikasih dua pilihan, mau sekolah atau mau dikasih kebun. Jadi mental anak tadi bercabang jadinya, karena dikasih 2 pilihan. Kalau mau sekolah kata orangtua saya, tengok sarjana saja banya yang punya kavling. Sarjana gaji Rp2 juta, Rp3 juta. Ya sudah, pilih punya kebun sajalah jadinya. Disitu yang saya nggak mau," jelasnya.
Lantas bagaimana dengan program replanting atau penanaman ulang tanaman kelapa sawit yang digagas pemerintah? Dengan lugas Sukiman mengaku sangat membantu para petani plasma dalam berbagai hal, termasuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka di masa depan.
"Program replanting sangat membantu para petani yang memiliki kebun kelapa sawit dengan usia tanaman di atas 25 tahun. Manfaat replanting jelas ada. Pada prinsipnya, program replanting ini tidak ada paksaan. Siapa yang mau saja. Takutnya begini, ada yang mau ambil dana bantuan replanting tapi nanti tidak dikerjakan. Tapi dengan dukungan program kemitraan dari perusahaan, menjadi jelas replantingnya akan dikerjakan dan tidak ada yang disusahkan kedepannya. Tentu dengan kolaborasi antara dukungan petani, pemerintah, dan swasta, program replanting sawit diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan petani, dan tetap mendapatkan penghasilan meski tanaman kelapa sawit masih dalam proses penanaman ulang," beber Sukiman.(*)