Kanal

Coblosan Berlalu, Pangkat dan Derajat Sudah Tercatat

Penulis: H Bagus Santoso SAg MP, Anggota DPRD Riau dari Fraksi PAN/Calon Anggota DPR RI

Pemilu serentak mencoblos 5 kertas untuk memilih presiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan  DPRD kabupaten/ Kota, menjadi sejarah terbaru demokrasi Indonesia.

Masih teringat, setelah dipanggil petugas TPS semua diberikan lima kertas suara warna abu-abu untuk presiden, kuning DPR RI, merah DPD RI, biru DPRD Provinsi dan hijau untuk DPRD kabupaten/Kota.

Mungkin karena yang pertama, maka keruwetan mewarnai jalannya pemilu tahun 2019. Tidak hanya persoalan banyaknya kertas suara yang memusingkan orang sepuh, tetapi juga saat antusias warga antri ke TPS untuk turut mencoblos ternyata kehabisan kertas suara. 

Tak heran jika banyak kertas suara rusak akibat kesalah pahaman mencoblos begitupun tercatat ratusan warga balik kerumah dipaksa golput karena kertas suara tandas.

Itu baru teknis dasar pelaksanaan. Belum lagi bicara mumet dan meriangnya caleg, karena suara yang diperoleh tak sesuai harapan. Makna kertas suara ternyata sangatlah bermakna. Warga mencoblos sesuai selera. Tak peduli warna kertas asal cocok sesuai dengan pendekatan yang disukainya.

Jangan kaget ketika lima kertas suara yang dicoblos hanya dua warna abu- abu untuk presiden dan warna hijau untuk DPRD Kabupaten/Kota. 

Kok bisa? Iya, bagi warga memilih adalah haknya. Maka suka hati ia untuk mencoblos hanya satu atau dua warna. Maka banyak kertas masuk kotak tapi tetap utuh tidak di coblosnya. Pun begitu juga banyak yang rusak karena keliru mencoblosnya.

Mengapa bisa terjadi? Pertama warga memang hanya kenal kertas untuk presiden dan kertas untuk caleg Kabupaten. Karena kebetulan caleg kertas warna hijau adalah keluarga atau tetangga sekampung. Untuk kertas presiden sangatlah mudah hanya ada dua calon apalagi lengkap dengan fotonya. 

Kedua mereka dengan sadar mencoblos sesuai dengan kadar untung rugi seperti jual beli. Maksudnya mereka mencoblos ada ongkosnya, Berani Bayar Berapa (B3). Jika satu kertas dijual belikan Rp100 ribu, maka lima kertas artinya akan dapat bayaran Rp500 ribu. 

Maka yang terjadi terjadilah, terjadi kasus coblosan belang belang. Kertas kuning untuk caleg partai A, kertas biru diberikan caleg partai X dan kertas warna hijau Partai P. Mencoblos tidak lagi karena fanatik warna partai tetapi faktor warna duit. Tidak lagi pararel satu warna atau satu  partai.

Sementara kertas abu abu karena tak ada ongkos di biarkan utuh sementara untuk presiden tetap dicoblos sebab kebetulan dapat pembagian cindera mata kaos dan kalender.

Potret demokrasi wani piro (baca transaksional) memang tidak dapat dihindarkan, ongkos politik itu fakta. Jikapun ada yang mengaku tanpa biaya itu hanya pemanis kata. Caleg memang harus gendut. Sejak tercatat sebagai bacaleg sampai menjadi caleg hingga selesai coblosan tidak lepas dari cost politik. Dari proses sosialisasi, membentuk relawan, menunjuk saksi, mobilisasi kampanye semuanya tak lepas dari biaya. Hanya kadar besar kecil ongkos yang membedakan karena kemampuan dan cermat dalam perhitungan.

Sekarang masa penghitungan suara, betapa hampir semua caleg terbata- bata, terutama caleg pemula tatkala membaca angka yang diperolehnya. Hitungannya tidak berderet- deret seperti perolehan suara calon presiden. Mengamati suara caleg banyak yang terperanjat. Begitulah faktanya, penulis sudah merasakan sendiri selama 4 kali pemilu tak lagi kaget. Betapa sulit dan susahnya mencari  satu suara nilainya melebihi sebongkah intan permata. 

Dalam satu lembar kertas ada 16 Parpol, misalnya untuk kertas warna kuning DPR RI Dapil Riau 1 setiap  parpol mengutus 7 caleg sesuai dengan jumlah kursi yang di perebutkan. Saat mencoblos rabu lalu, kita dapat melihat betapa lebarnya kertas suara dengan 16 lambang dan nomor partai. Disetiap kolom partai ada 7 caleg tanpa foto. Dapat kita bayangkan seberapa besar kertas kalau dilengkapi foto semua caleg.

Terasa betol kegedean kertas suara sehingga bilik coblosan menjadi sempit. Penulis yakin tidak ada yang Sanggup melihat satu persatu nama caleg. Jangankan nama caleg, nama parpolpun takkan sempat untuk sekedar membacanya. Pada Pemilu 2019 . Sesuai yang terpampang dikertas suara ada 16 parpol secara berurutan yaitu PKB, Gerindera, PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Garuda,  Berkarya, PKS, Perindo, PPP, PSI, PAN, Hanura, Demokrat, PBB dan PKPI.

Dalam kecamuk dan remuknya suara, aksi saling klaim antar parpol, antar 2 kubu calon presiden, antar caleg menjadi pemenangya. Masing masing menggunakan data yang dimilikinya. Hal itu karena proses penghitungan suara KPU srendet  belum kelar meski sudah memasuki hari ke 5. Dengan data internal caleg, parpol berlomba lomba mengklaim partainya dan kelompoknya sebagai pemenang. 

Namun semua sudah paham bahwa yang berhak dan resmi dinyatakan sebagai pemenang nantinya mutlak di tangan Pleno KPU. Tapi jangan pula berniat curang main mata apalagi memaksakan kehendak berniat mengubah data karena tak ada celah untuk hal yang menyalah. Kini saatnya semua pihak mendamaikan hati menenangkan jiwa menyamankan raga bahwa pangkat, derajat itu sudah tercatat, maka akan menjadi hidup mulia dengan prinsip laku suci terangkan lampu sendiri jangan padamkan lampu orang.(*)

Berita Terkait

Berita Terpopuler