Kanal

Kunni: bukan Mengerdilkan Diri, Apalagi Bersaing dengan Lelaki

Pekanbaru, Hariantimes.com - Buku berjudul Palung Tradisi karya penyair-penyair perempuan Indonesia mendapat kritik keras dari salah seorang pembedah buku, Hang Kafrawi yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak Riau. 

Kafrawi menyebutkan, dengan nama PPI sama artinya perempuan mengerdilkan diri dengan membuat komunitas tersebut.
   
''Saya salut dan bangga karena lahir buku puisi oleh perempuan Indonesia ini. Tapi saya mengkritik keras dengan komunitas bernama PPI ini. Nama ini menunjukkan perempuan sendiri. Penyair perempuan sendiri sengaja memisahkan diri dari laki-laki, mengerdilkan diri sendiri di tengah kekinian kesetaraan gender perempuan dan laki-laki,'' tukas Kafrawi di sela-sela menyampaikan banyak hal tentang kelebihan buku Palung Tradisi.
      
Bedah buku tersebut dihadiri segenap penyair dan saatrawan Riau. Antara lain  Fakhrunnas MA Jabbar, Husnu Abadi, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Riau dan Rahimah Erna, Bambang Kariyawan, Tien Marni, A Aris Abeba, DM Ningsih dan masih banyak lainnya.
     
Apa yang dikatakan Kafrawi mendapat tanggapan dari sesama nara sumber sendiri, yakni Husnu Abadi, sastrawan dan akademisi bergelar doktor dari kampus Universitas Islam Riau (UIR). 

Menurut Husnu, PPI justri sebagai gerakan sesama perempuan untuk  maju bersama.
     
''Di Riau sendiri, sebelumnya ada kelompok komuniitas penyair perempuan. Apalagi di Indonesia. Tidak masalah kalau kemudian lahir PPI. Menurut saya, PPI mencari ruang lebih flekssibel dan bebas saja. Selama ini memang penyair banyak didominasi lelaki, bisa jadi lelaki yang memang mempersempit ruang gerak penyair perempuan. Kalau penyair perempuan membuat gerakan sendiri, menurut saya itu lebih bagus,'' jelas Husnu.
     
Sementara itu, Ketua PPI, Kunni Masrohanti yang diminta menyampaikan tanggapannya oleh moderator yang juga founder SCW sebagai pelaksana bedah buku, Siti salmah, membeberkan dengan gamblang kenapa harus ada PPI.
      
''PPI itu Penyair Perempuan Indonesia, yaitu penyair yang karya-karyanya bersentuhan dengan perempuan sebagai akar tradisi. Jadi tidak harus perempuan. Berbeda kalau Perempuan Penyair Indonesia, memang perempuan itu yang penyair. Jadi, tidak benar kalau PPI justru memisahkan diri dari lelaki atau mengerdilkan dirinya sendiri,'' tangkis Kunni seraya juga menjelaskan beberapa pertanyaan peserta yang berkaitan dengan palung tradisi dan mengapa PPI  harus kembali ke akar tradisi dalam setiap karya-karyanya. Hal ini, kata Kunni, sangat berhubungan erat dengan perempuan sebagai sumber tradisi itu sendiri.
     
''Perempuan (ibu) adalah sumber tradisi. Batimang, dodoi, bagandu, yang dinyanyikan saat menidurkan anak semuanya lahir dari bibir perempuan,  penuh dengan pesan kebajikan. Masih banyak yang lain lagi, seeperti turun mandi. Perempuan akar tradisi sekaligus yang merawatnya. Kelebihan ini yang kami sadari, bahwa perempuan harus lebih fokus dalam melahirkan karya-karya yang kembali kepada tradisi, ini landasan PPI. Jadi bukan mengerdilkan diri apalagi bersaing dengan lelaki,'' jelas Kunni lagi.
     
PPI, kata Kunni, hanya salah satu komunitas sastra atau penyair. Masih banyak komunitas lain yang lebih keren.

''Banyak komunitas, khususnya untuk perempuan. Semakin bertumbuhan semakin bagus, banyak laman bermain dan kesempatan bagi perempuan. PPI hanya salah satunya saja dengan jumlah anggota saat ini 62 orang dan terus bertambah. Gabung kemana sajalah, yang penting bergerak dan berkarya. Memang untuk gabung ke PPI sudah harus punya karya puisi, minimal kumpulan bersama,'' beber Kunni.(*)

Berita Terkait

Berita Terpopuler