Penulis : Abdul Heris Rusli SH MH
DALAM usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum.
Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Definisi advokat dalam Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, "Advokat sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini".
Pada Pasal 1 huruf b dijelaskan secara definitif, yang dikategorikan sebagai jasa hukum adalah konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien.
Dalam melaksanakan profesinya, Advokat terikat pada peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Kode Etik Advokat Indonesia sebagai pedoman etika profes Advokat termasuk Sumpah Profesi Advokat.
Oleh karena itu, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, sertia setia dan menjunjung tinggi Undang-Undang Advokat dan Kode Etik serta Sumpah Profesi Advokat.
Profesi Advokat seirngkali dikaitkan dengan sistem peradilan, walaupun hal tersebut benar namun ruang lingkup Advokat dapat juga dilihat di luar pengadilan.
Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa.
Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang.
Dalam perkembangannya, profesi Advokat juga mengenal In House Counsel/In House Lawyer/Legal Offcier.
Profesi ini tidak diatur dalam Undang-Undang Advokat, namun profesi ini merupakan bidang hukum yang masih berada dalam ruang lingkup suatu perusahaan. Semakin banyak juga Advokat yang telah memiliki izin praktek dan membuka kantor merangkap pekerjaan menjadi In House Counsel/Lawyer tadi.
Dari Penjelasan diatas, maka Penulis tertarik untuk menentukan rumusan masalah sebagai berikut:
Apakah seorang Advokat yang sudah memiliki kantor/izin praktik boleh merangkap pekerjaan dalam sebuah perusahaan?
PEMBAHASAN
A. Rangkap Jabatan Advokat Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Rangkap jabatan Advokat dalam regulasinya telah diatur oleh Pasal 20 Undang-Undang Advokat dan Pasal 3 huruf f Kode Etik Advokat, yang berbunyi:
Pasal 20 Undang-Undang Advokat:
1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
3. Advokat dilang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
Pasal 3 huruf f Kode Etik Advokat:
“Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.â€
Dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2)-pasal 3 tidak digunakan sebab karyawan perusahaan tidak termasuk pejabat negara- Undang-Undang Advokat, seorang Advokat tidak dapat memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya ataupun jabatan lain yang meminta pengabdian (berarti terikat pada jabatan tersebut maupun PKWT [Perjanjian kerja Waktu Tertentu]). Meskipun demikian, PKWT menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan juga dapat mengundurkan diri namun berkewajiban untuk membayar ganti rugi sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja (Pasal 62 Undang-Undang 13 Tahun 2003). Maka, apabila jabatan tersebut bersifat PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) tidak terikat jabatan dan ia dapat mengajukan pengunduran diri, sehingga ia tidak dapat diklasifikasikan sebagai jabatan yang meminta pengabdian (tidak melanggar Pasal 2 UU Advokat).
Dari 2 (dua) Pasal yang telah dijelaskan diatas, maka yang paling relevan untuk dibahas terkait larangan rangkap jabatan karyawan perusahaan yaitu Pasal 1 Undang-Undang Advokat. Dijelaskan, Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. Frasa “bertentangan†menurut KBBI berarti sesuatu yang berlawanan atau tidak selaras atau tidak sesuai. Sebab Advokat merupakan profesi yang berkaitan dengan hukum, maka menurut Penulis segala dualisme profesi Advokat yang tidak berkaitan dengan hukum merupakan sesuatu yang melanggar Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Advokat. Hal ini sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan: "Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Maka demikian, apabila jabatan karyawan perusahaan yang dimaksud berhubungan dengan hukum, maka menurut Penulis hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Profesi Advokat
Walaupun Undang-Undang Advokat tidak secara eksplisit menjelaskan kalimat “bertentangan†yang dimaksud, namun ia perlu di interpretasikan secara jelas menggunakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Begitu pula dengan Pasal 3 huruf f Kode Etik Advokat, mengenai kebebasan advokat, maka ia berkaitan dengan segala hak dan kewajiban seorang Advokat seperti tertuang dalam Kode Etik Advokat ataupun Undang-Undang Advokat. Sehingga apabila jabatan lain itu membatasi hak dan kewajiban seorang Advokat, dapat dikatakan ia melanggar ketentuan rangkap jabatan Advokat. Sedangkan derajat dan martabat Advokat yaitu sebagai officium nobellium (profesi yang mulia dan terhormat), maka apabila jabatan lain itu mencemari atau merendahkan dan merugikan predikat Advokat sebagai Officium Nobellium (profesi yang mulia dan terhormat), dapat disimpulkan bahwa ia juga melanggar ketentuan rangkap jabatan Advokat.(*/Pekanbaru, 23 Januari 2020)