Kanal

Dua Sastrawan Riau Bedah Novel 'Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang'

Pekanbaru, Hariantimes.com - Dua sastrawan Riau masing-masing Bambang Kariyawan dan DM Ningsih membedah novel sejarah Melayu 'Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang' karya Datuk Seri Rida K Liamsi.

Acara yang diprakarsai FLP Riau ini berlangsung di Taman Sastra SMK Labor, Pekanbaru, Minggu (28/07/2019) pagi.

Sejumlah sastrawan Riau dan pegiat sastra dari kalangan siswa dan FLP Riau tampak hadir dan terlibat dalam diskusi bedah buku tersebut. Di antaranya sastrawan Fakhrunnas MA Jabbar, Azmi R Fatwa, Hening Wicara, Alam Terkembang, Zulfahmi, Kepala SMP Luar Biasa dan Kepala SMK Labor, Hendri.

Pada acara yang sama, sastrawan Fakhrunnas MA Jabbar menyerah dua buku masing-masing buku puisi 'Airmata Musim Gugur' dan buku cerpen 'Lembayung Pagi, 30 Tahun  Kemudian' kepada Kepala SMK Labor, Hendri untuk perpustakaan sekolah.

Sementara Novel sejarah Melayu 'Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang' karya Datuk Seri Rida K. Liamsi yang dibedah ini merupakan komitmen ke-Melayuan yang berlatar sejarah yang kaya akan referensi sejarah dalam memperkenalkan sastra Melayu ke publik yang luas. 

Namun, novel Selak Bidai sebagaimana hampir ditemukan dalam novel-novel Rida terdahulu yang sarat nilai sejarah dan kara-kata arkhaik Melayu tersebut agak sulit dicerna oleh pembaca di luar Melayu Riau karena keterbatasan pemahaman mengenai sejarah Melayu. Namun keberadaan novel ini cukup berperan dalam mengenalkan nilai-nilai sejarah Melayu ke publik. Walaupun novel-novel Rida sangat baik menjadi sumber telaah bagi para sejarahwan di mana saja.

Bambang Kariyawan yang membentangkan makalah berjudul 'Perempuan, Dendam dan Haluan Sejarah' lebih menitikberatkan nilai-nilai sejarah  Melayu yang rinci dengan peran sosok perempuan di dalamnya.

Kariyawan mengakui bagi pembaca yang tidak memiliki referensi sejarah Melayu terutama di bekas Kerajaan Melayu Riau-Lingga dan Johor akan sulit memahami alur cerita dan konflik politik yang berbancuh dengan kisah percintaan dalam hubungan istana kerajaan. 

Begitu pula, kata Karitawan,  kehebatan Rida dalam mengangkat kata-kata arkhais Melayu lama yang sulit dicarikan padanan katanya dalam kamus bahasa Indonesia modern bisa menyulitkan para pembaca untuk mendalami dan menyukai novel  Rida yang keempat setelah Bulang Cahaya, Megat, dan Mahmud, Sang Pemberontak ini.

Dalam prediksi Bambang Kariyawan, ke depan Rida K. Liamsi masih tunak mengangkat sosok perempuan yang lain  dalam novel sejarah Melayunya. Sebutlah di antaranya Engku Putri Hamudah, Tengku Embung Fatimah dan masih banyak lagi.

Sementara DM. Ningsih  lebih menitiberatkan resistensi perempuan yang dalam novel Selak Bidai  ini direpresentasikan oleh  Tun Irang  dengan segala konflik politik yang dibumbui tragedi percintaan di kalangan istana dan kerajaan Melayu masa lalu.

Dalam sesi diskusi, Fakhrunnas MA Jabbar memuji ketunakan Rida dalam mengangkat nilai-nilai sejarah Melayu denfan yokoh-tokoh yang khas serta mengangkat kata-kata arkhais Melayu yang mulai tenggelam. Namun, Fakhrunnas yang juga dibenarkan Bambang Karitawan, menyayangkan Rida hampir tidak memberikan penjelasan tentang kata arkhais Melayu yang dipergunakannya itu termasuk judul novel 'Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang.'

Hal senada diungkapkan sastrawan perempuan Hening Wicara yang membandingkan  novel Rida  ini debfan novel-novel Andrea Hirata yang berdampak dalam mengangkat aspek pariwisara daerah di Bangka-Belitung. Hal ini boleh jadi sulitnya memahami alur cerira dan tokoh-tokoh dalam novel-novel Rida K. Liamsi.

Sedangkan, Azmi R. Fatwa lebih memandang jarangnya para pengarang Riau termasuk Rida yang mengangkat aspek ekonomi seperti penggunaan mata uang dinar dan dirham pada masa kerajaan Melayu dulu. Sebutlah kisah Sultan Syarif Kasim II dari Kerajaan Siak Sriindrapura yang pernah menyumbangkan 13 juta gulden Belanda ke pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno di awal kemerdekaan.(*)


Editor : Zulmiron

Berita Terkait

Berita Terpopuler