Kanal

Semua Kapolres Harus Segera Identifikasi dan Selesaikan Potensi Konflik, Kapolda: Saya akan Kawal Ini Langsung

Pekanbaru, Hariantimes.com - Semua Kapolres harus segera identifikasi dan selesaikan potensi-potensi konflik di wilayahnya. Terutama penyelesaian konflik yang terkait hutan, perkebunan dan lain-lain.

Bukan hanya represif, yang paling penting prefentif. Pencegahan lebih penting agar tidak terjadi lagi kerusakan-kerusakan di kawasan hutan.

"Saya akan kawal ini langsung. 3 bulan ke depan harus ada inisiasi baru dan harus terlihat hasilnya,'' perintah Kapolda Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal saat menginisiasi kegiatan sosialisasi implementasi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021, tentang tata cara pengenaan sanksi administrasi di bidang kehutanan dari Kementerian LHK RI, Kamis (15/09/2022).

Dalam kegiatan sosialisasi ini, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Sekjen KLHK) RI Dr Ir Bambang Hendroyono MM dan Anggota DPD RI Dapil Riau Instiawati Ayus didapuk sebagai narasumber.

Hadir dalam kesempatan itu seluruh Pejabat Utama (PJU) Polda Riau, Kapolres/ta dari 12 kabupaten/kota serta pejabat atau perwakilan dari instansi/asosiasi terkait lainnya.

Kapolda menyambut baik sosialisasi implementasi UUCK yang baru pertama kali digelar untuk jajaran Polda se Indonesia. Harapannya seluruh jajaran Polda Riau bersama masyarakat ikut aktif mengawal implementasi UUCK.

Menurut Kapolda, kegiatan ini memang sengaja digelar pihaknya agar para satuan kerja terkait di lingkungan Polda Riau bisa lebih memahami dan dapat mengimplementasikan UU Cipta Kerja dan turunannya.

“Terus kami mengundang dari Kementerian Kehutanan dan Alhamdulillah dihadiri langsung oleh Pak Sekjen KLHK. Tadi sudah dijelaskan panjang lebar oleh Pak Sekjen kepada kami mengenai UU Ciptaker dan PP No.24/2021. Intinya kita paham bahwa Provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang kawasan hutannya cukup luas. Oleh karena itu, seluruh jajaran Polda Riau, arahan saya untuk segera konsolidasi melakukan penguatan tindaklanjut dari sosialisasi ini. Dengan Forkompimda, stakeholders, dan masyarakat, tentang upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan penyelesaian kasus di tingkat tapak,'' kata Iqbal.

Menurut Jenderal bintang dua itu, UU Cipta Kerja tergolong baru dan mesti dipahami bagaimana penerapan secara adminsitrasi maupun penindakan. Termasuk juga aspek preemtif dan preventif yang terus digalakkan pihaknya. Begitu juga dengan aspek penegakan hukum yang tentu bisa ditempuh apabila ditemui di lapangan. Dengan adanya sosialisasi tersebut, dia bersama tim Polda Riau dan jajaran menjadi lebih paham.

“Jadi upaya apa serta staregi apa, jadi lebih paham. Lebih terakselerasi, lebih tepat sasaran. Strateginya jadi lebih pas, lebih cepat. Apa yang dilakukan nanti kami sepakat semangatnya kolaboratif, tidak berhenti sampai disini kita akan action,” tegasnya.

Sementara itu, Sekjen Kementerian LHK RI Dr Ir Bambang Hendroyono MM menuturkan, UU Cipta Kerja sudah berjalan kurang lebih selama 2 tahun. Kata dia, Provinsi Riau termasuk provinsi yang menjadi target penyelesaian untuk prinsip-prinsip implementasi UU Ciptaker ini.

”Hari ini Alhamdulillah dalam kesempatan pendalaman materi, khususnya dalam penegakan hukum dalam UU Ciptaker dengan PP No.24/2021 kami sampaikan tata cara administrasi dan penerapan UU dimkasud,” papar  Bambang Hendroyono seraya menegaskan, tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan.  

''Dalam UUCK tidak ada pemutihan dan pengampunan, kita sepakat menyelesaikan terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UUCK di dalam kawasan hutan yang ditandai selesainya proses hukum administrasi. Seperti dalam pasal 110 B UUCK, kawasan yang kita selesaikan tetap akan berstatus kawasan hutan,'' jelas Bambang.

Ketua tim Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Implementasi (Satlakwasdal) UUCK ini mengatakan, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif. Namun bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja. Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut

''Mereka ini nanti akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK. Jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,'' tegas Bambang.

Dalam UUCK jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan ijin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan.

''Pasal 110 A dan B hanya mengurusi kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Jadi kalau ada yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UUCK tanpa memiliki perijinan atau persetujuan Menteri, segeralah berhenti karena pasti langsung dikenakan sanksi pidana,'' tegas Bambang.

Untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 ha dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, maka pada mereka tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan, bisa dalam bentuk perhutanan sosial dan TORA.

''Untuk sawit yang sudah ada harus melakukan jangka benah dengan tanaman hutan dan diberikan kesempatan satu kali daur. UUCK memberikan kesempatan masyarakat dapatkan akses legalnya, untuk itu masyarakat harus cepat dapat ijin perhutanan sosial agar produktifitas tetap terjaga, begitu juga kawasan hutannya,'' kata Bambang.

Perhutanan sosial juga digunakan untuk penyelesaian sawit dalam kawasan HTI. Setelah melalui verifikasi teknis, akan memperoleh akses legal perhutanan sosial dengan skema kemitraan kehutanan dengan pemegang ijin HTI.

''Inilah upaya kita agar kegiatan yang terbangun dalam kawasan hutan seperti masa lalu, tidak terjadi lagi ke depannya. Masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dapat mengelola asalkan ada ijin kehutanan melalui hutan sosial. Banyak skemanya, sehingga masyarakat bisa sejahtera dan fungsi hutan tetap bisa dipertahankan,'' jelas Bambang.

Bambang mengajak Polda Riau bersama para pihak, khususnya swasta, termasuk NGO selaku perwakilan publik, memandang UUCK dengan arah pemahaman yang sama. Kepastian hukum menjadi bagian penting dari amanah UU. Maka proses ke depan melalui UUCK adalah menyiapkan langkah-langkah memberi kepastian hukum. Meliputi kepastian kawasan, kepastian hukum, kepastian usaha, kepastian keberlangsungan usaha, dan kepastian keberlanjutan lingkungan.

''Semua kepastian ini terkandung dalam amanat UUCK, agar semuanya ke depan kembali patuh pada ketentuan yang ada,'' kata Bambang.

Karena pemerintah menyadari, akibat kebijakan di masa lalu, banyak usaha masyarakat bahkan pemukiman, yang sebelumnya berada di luar kawasan malah masuk ke dalam kawasan. Sehingga mereka kehilangan hak legal atas kepemilikan pemukiman ataupun perkebunan. Bukan hanya masyarakat, ada swastanya juga, inilah yang coba diselesaikan oleh UUCK sebagai bentuk kehadiran negara.

''Menata regulasi ini dan implementasinya jelas tidak mudah. Kami bekerja dengan supervisi bersama KPK, BPK, DPR dan publik. Tidak kerja sembarangan, tapi memegang regulasi,'' kata Bambang.

Implementasi UUCK bukan hanya kerja KLHK, namun kerja kolaborasi multipihak agar kesalahan masa lalu tidak terulang dalam hal legalitas lahan. Tujuannya agar kawasan hutan tetap terjaga dan rakyat sejahtera.

''KLHK punya 10 Pokja dipimpin eselon II untuk langkah-langkah percepatan hutan sosial hingga ke tingkat tapak. UUCK ini kebijakan dasar untuk penyelesaian masalah dalam kawasan, jadi jangan ditawar. Bagi yang merasa punya bukti kuat, perkuatlah data untuk pengajuan permohonan dan lalui prosedurnya,'' tegas Bambang.

Dalam diskusi itu juga disepakari bahwa pemahaman hukum untuk seluruh aspek pada pasal-pasal menjadi gerakan bersama. Ia kemudian menyampaikan 5 poin yang menjadi fokus dari Kemen LHK dalam UU Ciptaker. Diantaranya ialah kepastian kawasan itu menjadi poin pertama. Kemudian kepastian hukum menyangkut perizinan dan sebagainya. Ketiga ialah kepastian usaha.

“Jadi bukan hanya swasta, BUMN juga masyarakat. Kemudian ada kepastian keberlanjutan usaha. Ini yang kita jaga kedepannya kalau bekerja harus ada izin. Baik di kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan. Kelima keberlanjutan lingkungan. Pemulihan lingkungan dan ekonomi menjadi fokus disini,” terang dia.

Bambang berharap kolaborasi ini dapat segera dilakukan. Sehingga tidak ada lagi bisnis dalam landscape hutan produksi terpecah-pecah. Dan tidak ada lagi pekerjaan tanpa aturan.

”Diawal tadi saya mengatakan undangan dari kapolda yang menginisiasi implementasi kami nyatakan untuk pertama kalinya di Kepolisian di seluruh indonesia. Yang berniat kolaborasi dengan kementerian LHK,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Instiawati Ayus, anggota DPD RI. Baginya, ini adalah sebuah kebanggaan karena dapat menunjukkan kepada mitra kerja, bahwa implementasi penataan kawasan hutan melalui regulasi yang ada, sudah berjalan baik.

"Apresiasi saya kepada Polda Riau, saya merasakan bahwa Pak Kapolda jadi orang pertama yang merespon dan menggelar sosialisasi. Saya tidak ragu tiga bulan ke depan akan ada progres luar biasa," tuturnya.(*)

Berita Terkait

Berita Terpopuler