Tantangan dan Pengaruh Media dalam Pembauran di New Normal


Dibaca: 1796 kali 
Senin, 07 Desember 2020 - 08:28:18 WIB
Tantangan dan Pengaruh Media dalam  Pembauran di New Normal Ir Fakhrunnas MA Jabbar MIKom

PERADABAN baru sudah dimulai di seluruh dunia. Inilah era baru yang disebut New Normal (Tatanan Kenormalan Baru). 

Realitas ini dimulai sejak ditemukannya Covid 19 yang berawal dari kota Wuhan, Cina akhir tahun lalu. Berbagai fenomena sosial, budaya dan politik bergulir secara dinamis yang dipicu oleh keterbukaan informasi yang diperankan oleh media massa dan lebih-lebih lagi media sosial (social media) bagai tak terkendali. 

New normal merupakan  perubahan perilaku atau kebiasaan untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa namun dengan selalu menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. 

Munculnya aturan atau protokol kesehatan (prokes) yang dikenal dengan 4 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan) bermakna semua umat manusia di masa kini harus siap hidup secara hati-hati terhadap penyebaran Covid 19 yang sudah menelan korban jutaan orang di seluruh dunia. 

Semua aktivitas kehidupan  sehari-hari terkait aktivitas sosial dan budaya kini sudah harus menyesuaikan dengan tatanan hidup baru yang ketat. Sering tatanan baru itu bertentangan dengan kebiasaan atau norma hidup sebelumnya yang dalam jangka waktu panjang akan melahirkan  adat/ tradisi baru yang jauh berbeda. 

Rasakan saja, bagaimana tradisi bersalaman atau ciuman pipi saat bertemu keluarga atau kerabat dekat, kini sudah tak dapat dilakukan lagi untuk menghindari penularan.  Begitu pula kebiasaan dalam rumah ibadah yang dulunya menjadi kewajiban atau bagian penting dalam melaksanakan peribadatan, kini untuk sementara waktu selama era Covid 19 harus berubah. 

Bagi umat Islam misalnya, saat melakukan shalat berjamaan harus jaga jarak sehingga membatalkan aturan ‘merapatkan shaf.’ Dalam hal yang berkaitan dengan hukum agama, kini diperlukan fatwa ahli agama atau pihak-pihak yang paling berkompeten yang jadi panutan umat. 

Banyak pola hidup hampir semua aspek kehidupan  harus berubah dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru. Hal ini memunculkan tardisi atau kebiasaan baru yang dulunya tidak terlalu dominan. Simak dan rasakan bagaimana saat ini kebiasaan-kebiasaan baru menjadi sebuah keniscayaan seperti: 

- Working From Home (WFH) (bekerja dari rumah. 

- Berbisnis dan berbelanja daring (online)- maraknya Start Up

- Belajar daring (Zoom, Google Classroom, Google Meeting, Webex dan lain-lain) 

- Teleconference (Rapat Jarak Jauh) 

- Dominasi  media online dan media sosial  

- Peningkatan chatting (ngobrol online)  

Skenario new normal  yang disusun oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB) merupakan upaya nyata mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia terus melakukan langkah-langkah kebijakan baru dalam mengimplementasikan skenario new normal tersebut dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan kawasan regional.  

Semua orang di dunia ini sudah paham bagaimana cara beraktivitas selama New Normal. Tatanan kehidupoan baru yang harus dilakukan secara lengkap guna mengimplementasikan 4 M yakni saat harus keluar rumah dan kembali lagi ke rumah, sewaktu menggunakan transportasi umum, selama bekerja di kantor, ketika berbelanja online atau memesan makanan online, ketika membutuhkan layanan kesehatan dan lain-lain.  Tentu saja, masih banyak aturan prokes pada masa  tatanan kehidupan baru yang wajib ditaati apabila ingin terhindar dari terpapar Covid 19 yang tak dapat diprediksi kapan berakhir.   

Keberadaan Media pada Era New Normal.  Keberadaan media yang dimaksud adalah media massa sebagai media mainstream (konvensional) dan media sosial (medsos) yang tumbuh subur di era digital sekarang. Perkembangan media massa di era new normal dipicu pula oleh teknologi internet yang melahirkan teknologi digital atau online (daring). Platform media dan tradisi jurnalisme juga  ikut mengalami perubahan drastis. 

Masa kejayaan media cetak (majalah, suratkabar, tabloid dan lain-lain) sudah berakhir yang ditandai dengan tidak terbit lagi atau media cetak bersangkutan melakukan PHK besar-besaran terhadap para personel redaksi, wartawan dan bagian administrasi keuangan. Hampir semua media cetak saat ini sudah mengalihkan core business (bisnis utama) ke platform media daring. 

Media massa merupakan sarana komunikasi massa yang menggunakan prinsip-prinsip jurnalisme dalam  penyampaian pesan ide gagasan atau informasi untuk  khalayak/publik.   Akibat perubahan bisnis media secara daring/ digital ini menjadi kerja jurnalistik ikut berubah. 

Aktualitas pemberitaan terhadap  sebuah peristiwa tidak bisa lagi menunggu satu hari menjelang media terbit keesokan hari namun kini update (pembaruan) informasi harus berlangsung per detik. Apabila terlambat, dipastikan informasi yang sama didahului oleh platform media lain yang jauh lebih cepat dan terbuka yakni media sosial.  

Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun saat melakukan verifikasi faktual media  Radar Solo (12/02/2020) mengatakan, ada ada tiga tantangan berat yang harus dihadapi media massa saat ini. 

Pertama, berubahnya pola konsumsi informasi di masyarakat. Jika dulu orang mengandalkan 80 persen media massa untuk mencari informasi, sekarang justru sebaliknya. Orang lebih suka mengonsumsi informasi dari media sosial.  

Kedua, kemajuan teknologi membuat orang ingin mendapat informasi secara gratis. Masyarakat lebih suka mencari informasi dari media sosial yang belum pasti kebenarannya. Selain itu, majunya teknologi membuat berita-berita media massa dengan mudah dicaplok oleh news aggregator (pencaplok berita). 

Ketiga, menurunnya kualitas produk jurnalistik secara keseluruhan. Sehingga membuat masyarakat mulai beralih ke media sosial. 

”Kalau dulu hanya ada 1.000 media, kita bisa melihat mana yang bermutu mana yang tidak. Sekarang ada 40 ribuan media,” kata Hendry. 

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengungkapkan, besarnya kebutuhan untuk mendapatkan layanan internet yang mumpuni menjadi fenomena baru dalam tatanan kehidupan. Melalui media sosial, warganet menyampaikan keluh kesah yang sedang dirasakan.  

“Sebuah perubahan hidup dasar masyarakat berlangsung saat ini. Masyarakat disuguhkan kemudahan dengan adanya kebutuhan baru yaitu internet,” kata Yuliandre dalam diskusi webinar dengan tema “Peran Media Dalam Menghadapi Tatanan Kehidupan Global New Normal,” katanya di Jakarta (17/06/2020). 

Menurut Yuliandre, peran media di tengah proses adaptasi ke tatanan normal baru sangat vital. Pemerintah dalam hal ini tidak bisa bekerja sendiri untuk mesosialisasikan tahapan adaptasi hingga edukasi dari sebuah keakuratan informasi. 

Media dalam new normal saat ini menjadi penting, paling utama adalah media wajib memberikan asupan informasi yang bersifat edukasi dan ajakan menyesuaikan diri, sehingga media diharapkan dapat.mendistribusikan informasi yang sesuai dengan fakta dan dapat dipertanggungjawabkan.   

Akibat peralihan platform dari media cetak ke media daring, terjadi perubahan perilaku pembaca yang begitu drastik. Masyarakat semakin terbiasa membaca media lewat gadget (handphone, laptop atau perangkat telekomunikasi lain) yang dapat memilih sebebas-bebasnya, media apa yang ingin dibaca. 

Perkembangan suatu peristiwa atau kasus dalam pemberitaan bisa berubah dalam hitungan detik.  Hal menarik, ternyata era new normal ini telah ikut mengembalikan kepercayaan publik pada media televisi yang juga ikut bermetamorfosis dengan suguhan-suguhan informasi yang disiarkan secara langsung melalui program ‘News Update’ atau ‘Breaking News’. 

Begitu pula acara-acara talk show yang mengupas isu-isu terkini yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas muncul bersaing sesama stasiun TV seperti ILC, Indonesia Business Forum Mata Nadjwa, Prime Talk, Dua Arah, Aiman, Rossy dan program berita lainnya.  Menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI), Jojo.  segala cara adaptasi dilakukan perusahaan dan pekerja media, bukan semata-mata untuk mempertahankan bisnis, tapi juga dibutuhkan untuk tetap memenuhi hak publik akan informasi. 

Transformasi cara kerja jurnalisme bukan hanya bentuk adaptasi untuk menyelamatkan bisnis, namun bentuk tanggung jawab pekerja media guna memastikan setiap orang bisa mendapatkan dan mengakses informasi dalam situasi apapun.  

Selain perubahan pola pemberitaan atau penyebaran informasi melalui platform media daring dan media elektronik (radio, TV, TV Streaming dll), pemasang iklan kini sudah tidak tergantung lagi pada media mainstream. Namun, banyak pula pemasang iklan yang beralih ke platform media sosial dengan memanfaatkan influencer di media sosial. 

Banyak para pesohor selebriti, selegram) yang memuat endorsement untuk produk-produk iklan mulai skala kecil hingga skala besar. 

Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA) Musa Chandra mengakui pengiklan saat ini memang banyak memakai social media dan influencer, akan tetapi efektivitas dari pendekatan ini sangat tergantung pada ekspektasi jumlah jangkauan dan juga kesesuaian merek (brand) dengan influencernya.  

"Pemilihan social media dan influencer memang meningkat pesat belakangan ini, karena dapat diukur melalui konversi dengan potensi penjualan yang diciptakan melalui investasi iklan. Social media dan influencer harus bersinergi, social media akan lebih mudah diterima atau menjangkau lebih banyak para calon konsumennya, sedangkan influencer sebagai virality ataupun creative storyteller dengan gaya bahasa masing-masing," kata Musa Chandra.
 
Penyebaran informasi yang mengandalkan kecepatan, aktualitas dan kelengkapan tidak lagi hanya didominasi oleh media-media jurnalistik mainstream melainkan semakin disaingi oleh TV Live Streaming atau  kanal Youtube oleh para Youtuber yang berpenghasilan miliaran rupiah per bulan. 

Sebutlah Deddy Corbuzier, Nadjwa Syihab dengan NarasiTV dan masih banyak lagi. Perkembangan media sosial (Whatsup, Instagram, Youtube, Tweeter dan lain-lain) benar-benar mendominasi penyebaran informasi di kalangan masyarakat. 

Semua orang kini bisa jadi wartawan untuk menginformasikan peristiwa dan informasi apa saja yang diketahui. Kemudahan menggunakan gadget (handphone) dan sejenisnya memungkinkan siapa saja dapat menulis atau merekam peristiwa yang tak terduga yang berubah menjadi berita actual.  

Berapa banyak masyarakat awam yang merekam peristiwa kecelakaan di jalan raya, perampokan, copet, perkelahian, tawuran, kebakaran, bencana alam  dan hal-hal yang unik secara cepat menjadi viral dan tersebar luas di kalangan masyarakat. Bahkan, media elektronik seperti TV membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengirimkan rekaman video sejenis itu  untuk disiarkan dan mendapatkan imbalan yang cukup besar. 

Namun sayangnya,  penggunaan media sosial di kalangan masyarakat yang tak terkendali tidak diikuti dengan penguasaan dan kesadaran budaya  literasi media yang baik sehingga realitas yang muncul adalah semakin maraknya penyebaran hoaks (informasi bohong atau fitnah) yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial yang selama ini sudah terbina baik. 

Masyarakat begitu mudah terprovokasi dengan informasi hoaks tersebut yang dapat berakibat langsung terhadap keamanan dan ketertiban sosial, budaya dan politik yang berujung pada desintegrasi bangsa. Bahkan  berita hoaks menjadi sebuah tren baru yang diperankan oleh orag-orang tak bertanggungjawab yang tidak ada habisnya. 

Hal ini tentu saja disebabkan oleh adanya pihak-pihak  yang  secara perorangan atau kelompok memiliki misi-misi khusus untuk mengganggu keamanan dan ketertiban sosial. Bahkan ada kelompok tertentu yang sengaja menyebarluaskan informasi bohong sebagai ‘bisnis’ agar masyarakat terprovokasi melalui buzzer bayaran di internet. 

Bentuk informasi hoaks yang banyak ditemukan melalui media-media sosial tersebut berupa narasi berita, video, meme di antaranya satire/ parodi, konten menyesatkan, konten tiruan, konten salah, konten dimanupasi dsb. Untuk mengantisipasi penyebaran hoaks yang lebh luas, sudah banyak institusi dan LSM yang memantau konten-konten hoaks tersebut di antara Mafindo (Masyaraat Anti Fitnah Indonesia)  yang ikut membangun literasi masyarakat agar tidak mudah menyebarkan informasi bohong.  

Di Indonesia, hoaks  mulai marak sejak pemilihan presiden 2014 sebagai dampak gencarnya kampanye yang menggunakan plastform. Hoaks dimaksudkan untuk  menjatuhkan citra lawan politik melalui black campaigne (kampanye hitam) atau negative campaigne (kampanye negativ). 

Menurut Mantan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, maraknya hoaks di Indonesia  karena adanya krisis kepercayaan terhadap media mainstream dan dampak berubahnya fungsi media sosial dari media pertemanan dan berbagi sarana menyampaikan pendapat politik dan mengomentari pendirian orang lain. 

Secara kebijakan pemerintah, untuk mengawal dan mengawasi tindak kejahatan hoaks telah diterbitkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang  Informasi Transaksi lektronik (ITE)  dan dibentuknya Unit Kejahatan Siber (cyber crime) di jajaran kepolisian dan badan-badan  intelijen dengan sanksi hukum yang berat bagi pelanggarnya. 

Pemanfaatan media massa sebagai media komunikasi  secara proporsional dapat berpengaruh dalam urusan sosialisasi dalam kehidupan masyarakat.  Terdapat 13 pengaruh tersebut yakni: 

1. Mengubah pola pikir (Midnset)  
2. Membentuk karakter seseorang 
3. Mengembangkan keterampilan komunikasi  
4. Berintegrasi dengan lingkungan sekitar
5. Menyebarkan informasi 
6. Meningkatkan nilai sosial 
7. Hiburan 
8. Edukasi 
9. Mengubah gaya hidup 
10. Sarana promosi 
11. Meningkatkan eksistensi 
12. Mempererat silaturahim. 
13. Membangun relasi atau jaringan.   Nilai Kebhinnekaan, Pembauran dan Kebangsaan.     

Indonesia sejak dulu dikenal sebagai negara kepulauan (archipelago) terbesar di dunia. Di wilayah yang terbentang antara Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote tersebar 267 juta jiwa penduduk yang memiliki kerberagaman (pluralisme)  suku (etnik), agama, budaya, adat istiadat dan  asal usul. 

Keragaman itu pula yang mengilhami semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ pada lambing negara burung Garuda. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk.  

Tanggok (2010) menyebutkan negara kepulauan dengan 17.000 pulau dan 81.000 km garis pantai ini dihuni oleh 300 kelompok etnik dengan hampir seribu bahasa daerah. Negara ini sudah lama berinteraksi dengan negara luar sehingga hampir tidak mungkin ditemukan suatu budayapun yang bebas dari pengaruh luar, kecuali beberapa suku yang tinggal jauh di pedalaman.  

BPS (2010) menyebutkan jumlah suku bangsa di Indonesia lebih dari 300 suku bangsa atau kelompok etnik atau lebih tepatnya mencapai 1.340 suku atau kelompok etnik. 

Sedangkan menurut Peta Bahasa Depdiknas (2010) ada 746 bahasa daerah di seluruh wilayah nusantara bahkan bila dilihat dari segi dialek maka jumlahnya akan jauh lebih banyak lagi. Di Papua saja ada sekitar 185 dialek bahasa lokal.  

Pengertian multikulturalisme menurut Ralph Grillo merujuk pada hidup saling berdampingan di dalam ruang kesadaran politik yang sama untuk mengakui perbedaan etnik, budaya agama, Bahasa, hokum dan tuntutan moral serta praktik-praktik sosial yang mengikutinya. (Bagir, 2011)  

Menurut Nasikun (1991) masyarakat majemuk (plural societies) adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.   Keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan itu sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 diikat dalam sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan semua suku, adat, Bahasa dan budaya tersebut memiliki kesamaan kedudukan. Keragaman itu pula yang menjadikan Indonesia menjadi kuat sebagai sebuah negara kesatuan.  

Tata kehidupan masyarakat yang majemuk di negeri ini sudah terjalin dengan baik dan saling menghormati dan menghargai. Hal itu dimungkinkan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang dianut secara turun-temurun oleh masing-masing etnik yang menanamkan sikap toleransi, gotong-royong dan saling ketergantungan. Apalagi dalam rentang waktu yang panjang dalam hubungan interaksi sosial yang terus berlangsung telah terjadi proses assmiliasi baik melalui proses perkawinan maupun hubungan persaudaraan yang sulit dipisahkan.  

Begitupula proses assmiliasi (pembauran) terjadi secara alamiah sehingga hubungan persaudaraan antaretnik tersebut makin memperkuat hubungan dan ikatan sosial. Dengan demikian lahir generasi baru yang memiliki kekhasan tersendiri sebagai identitas baru. Pembauran sering didefinisikan sebagai proses, cara, pembuatan,  pencampuran. 

Ada yang lebih ekstrim dengan mengartikan pembauran sebagai peniadaan sifat-sifat eksklusif kelompok etnik di masyarakat dalam usaha mencapai kesatuan bangsa. Sifat kebhinnekaan di antara suku atau etnik yang ada di Indonesia harus selalu diperkuat melalui semangat kebangsaan (nasionalisme) yaitu sikap mengedepankan rasa cinta tanah air, rasa hidup satu bangsa atau kebanggaan pada bangsa Indonesia. 

Adanya sikap kebangsaan (nasionalisme) yang bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan etnik, adat istiadat dan budaya tentu semakin memperkuat rasa persauadraan, kesatuan dan persatuan. 

Oleh sebab itu, kebhinnekaan bangsa Indonesia tak bisa lepas dari usaha pembauran dan semangat nasionalisme bersama. Setiap warga Indonesia merupakan tubuh yang satu dan tak bisa dipisahkan oleh kekuatan apa pun. Rasa nasionalisme dapat pula ditumbuhkan melalui pemahaman dan kepatuhan pada konsensus dasar negara, yakni  Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Pendapat Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno menyatakan, nasionalisme adalah pilar kekuatan bangsa-bangsa yang terjajah untuk memperoleh kemerdekaan.  

Dalam memperkuat upaya pembauran dan semangat kebangsaan diterbitkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di daerah ditegaskan bahwa, pembauran kebangsaan adalah  proses pelaksanaan kegiatan integrase anggota masyarakat dari berbagai ras, sukum, etnis, melalui interaksi sosial dalam bidang Bahasa, adat istiadat, seni budaya, pendidikan dan perekonomian untuk mewujudkan kebangsaan Indonesia tanpa harus menghilangkan identitas ras, suku dan etnis masing-masing dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pedoman FPK, 2013).  

Pembentukan organisasi FPK yang menghimpun seluruh paguyuban etnik di semua daerah dalam wilayah NKRI merupakan sebuah keniscayaan untuk mengikat hubungan baik antar etnik dan saling menghormati dan menghargai. 

Permendagri menegaskan, dalam rangka pembinaan penyelenggaraan pembauran kebanini gsaan, gubernur melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan FPK di tingkat provinsi  maupun kabupaten/kota dapat saling berkoordinasi dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat menghasilkan rumusan rekomendasi yang komprehensif dan strategis sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan terkait pembauran kebangsaan..  Pengaruh dan Tantangan Media dalam Pembauran.   

Keberadaan media mainstream dan media social (medsos) dalam penyebarluasan informasi sudah tak diragukan lagi. Bahkan media dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku atau karakter sesorang. Oleh sebab, pemanfaatan media dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai pembauran dan kebangsaan menjadi salah satu pilihan yang tepat dan efektif.  

Pesan-pesan pembauran dan kebangsaan dan  segala tindak lanjut yang disampaikan melalui media massa kepada masyarakat layaknya sebuah iklan promosi yang dapat disiarkan secara terus meneruskan. Khusus untuk media elektronik seperti radio, TV dan live streaming tentu saja akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat karena adanya tayangan audio visual yang gampang dipahami dan dipedomani oleh masyarakat pemirsa. 

Begitu konten-konten outube dengan berbagai teknologi audio visual seperti animasi, kartun dan sejenisnya sangat mudah menarik minat pemirsa.  

Di tengah maraknya penggunaan media sosial  secara massif yang memunculkan fenomena hoaks yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, tentu saja perlu penguatan semua pihak melalui peningkatan budaya literasi (tradisi membaca dan menulis) agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak benar.  

Setiap orang harus mampu memfilter (menyaring) informasi yang dibaca atau menyebarluaskan kembali (sharing) ke kelompok-kelompok pengguna medsos agar cara-cara fitnah dapat ditekan. Fakta menunjukkan bahwa firnah atau hoaks yang tersebar luas melalui medsos tersebut dapat menghancurkan kerukunan social, keamanan dan ketertiban karena dapat memicu konflik sosial yang luar biasa.  

Apalagi dalam suasana Covid 19 yang mengharuskan semua orang melakukan aktivitas di rumah sehingga ketergantungan komunikasi pada platform medsos semakin meningkat maka setiap orang harus cerdas dalam memilah dan memilih informasi yang dapat dipercaya. 

Apalagi bila informasi tak benar (hoaks) tersebut dapat menghancurkan keakraban antarwarga, merusak pembauran dan mengancam rasa persatuan dan kesatuan serta memadamkan semangat nasionalisme (rasa cinta pada tanah air). 

Di balik tantangan selalu tersedia peluang-peluang bila disikapi secara cerdas. Media mainstream tentu saja dapat ikut memberikan pembelajaran pada masyarakat dengan pemuatan informasi di platform media cetak dan daring atau menayangkan siaran yang mendidik terkait info dan pesan-pesan pembauran. 

Begitu pula, institusi pemerintah seperti Kemendagri, Kemkominfo, Kementerian Agama, dan lain-lain yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam peningkatan usaha pembauran dan semangat kebangsaan dapat bekerjasama dengan media untuk penayangan advertorial sosial agar masyarakat makin memahami betapa arti penting pembauran dan nilai-nilai kebangsaan. Untuk medsos yang penyebarannya  begitu marak (viral), cepat tanpa ada penyaringan, pihak pemerintah  perlu melakukan penanganan yang produktif tanpa menghilangkan hak-hak dasar masyarakat dalam berekspresi atau menyampaikan pendapat. 

Dalam hal ini pemanfaatan influencer dan buzzer  yang memiliki follower jutaan orang tentu cukup ampuh menanamkan kesadaran literasi bagi pengguna medsos yang kini lebih dari dua kali lipat jumlah penduduk Indonesia. Kemkominfo, kabarnya sudah mengeluarkan dana mencapai Rp94 miliar untuk mendanai para buzzer dan influencer untuk meningkatkan budaya literasi pengguna medsos. Namun, implikasi dari program yang menelan uang rakyat  sangat besar tersebut masih dipertanyakan banyak pihak karena penggunaan dana tersebut cenderung untuk kepentingan politik penguasa. 

Tentu selalu terbuka peluang bagi siapa saja untuk ikut dalam meningkatkan usaha pembauran dan meningkatkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat agar bangsa Indonesia tidak mudah terkoyak-koyak oleh kepentingan pihak-pihak dengan motif cari untung atau ingin menghancurkan kerukunan dan kedamaian hidup di Indonesia ini. 

Menyikapi tantangan bagi media dalam ikut mensosialisasikan pembauran di kalangan masyarakat diperlukan political will (kemauan politik) dari pihak pemerintah untuk melibatkan media secara formal dalam bentuk kerjasama publikasi. 

Pihak Kemendagri di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di level di bawahnya dapat memanfaatkan keberadaan para wartawan di unit kerja masinmg-masing untuk memberikan porsi peliputan dan pemberitraan yang berkaitan dengan masalah pembauran dan semangat nasionalisme. 

Begitu pula organisasi FPK Provinsi dan FPK Kabupaten/ Kota juga harus mengambil peran untuk terus menyosialisasikan aktivitas organisasi yang melibatkan berbagai paguyuban yang ada di wilayah masing-masing. 

Publikasi yang dilakukan secara terus menerus melalui semua platform media tentu dapat menyebarkan keberadaan FPK sebagai institusi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengoordinasikan berbagai paguyuban. 

Dengan demikian, sosialisasi program pembauran dalam arti yang luas dapat terus dilakukan.(*/Pekanbaru, 07 Desember 2020/Ir Fakhrunnas MA Jabbar MIKom)    

DAFTAR BACAAN:  Bagir, Zainal Avidiun Dkk. Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman  di Indonesia. CRG+CS Pascasarjana UGM dan Mizan, Bandung. BPS. 2010. Laporan Sensus Penduduk Tahun 2010. 
BPS Jakarta. Depdiknas. 2010. Peta Bahasa. Depdiknas, Jakarta. Nasikun. 1991. Sistem Sosial Indonesia.Rajawali Press, Jakarta.  
Tanggok, M. Ikhsan. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. PT.  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.34 Tahun 2006 tentang Pedoman   Penyelenggaraan Pemburan Kebangsaan. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia .

BIODATA  FAKHRUNNAS MA JABBAR  Ir Fakhrunnas MA Jabbar MIKom, lahir di Airtiris, Riau-Indonesia, 18 Januari 1959. Merupakan anak keenam dari dua belas bersaudara pasangan Buya Mansur Abdul Jabbar dan Hj. Aminsuri Wahidy. Menamatkan  pendidikan SD Nomor 13  di Pekanbaru, SMP 1 dan SMA 1 Bengkalis. Selain pendidikan umum, ia menyelesaikan bangku Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di pesantren. Menamatkan kuliah S1 pada Faperi Universitas Riau, S2 Komunikasi Politik  Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)  dan kini menyelesaikan S3 bidang Komunikasi Politik Universiti Selangor (Unisel), Malaysia. Kini berkhidmat sebagai dosen Universitas Islam Riau dan menjadi Direktur UIR Press dan Pemred Portal  Tirastimes.com.  Saat ini menjadi Wakil Ketua Forum Pembauran Kebangsaan *FPK) Riau.  Menulis dan mempublikasikan tulisannya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel di hampir 100 media yang terbit di Indonesia sejak 1975- sekarang.  Telah menulis dan menerbitkan buku yakni  lima  kumpulan puisi  tunggal (antara lain Airmata Barzanji, 2005, Tanah Airku Melayu, 2007, Airmata Musim Gugur, 2016, Airmata Batu, 2017), lima  kumpulan cerpen (Jazirah Layeela, 2004, Sebatang Ceri di Serambi, 2006, Ongkak, 2010), Lembayung Pagi, 30 Tahun Kemudian) dua  biografi (Zaini Kunin, Sebutir Mutiara dari Lubuk Bendahara, 1993 dan Soeman Hs, Bukan Pencuri Anak Perawan, 1998) serta lima  buku cerita anak (a.l Anak-anak Suku Laut, Di bawah Kibaran MerahPutih, Menembus Kabut dan Menyingkap Rahasisa di Bumi Harapan).  Buku cerpen Sebatang Ceri di Serambi meraih Buku Pilihan Anugerah Sagang, 2007 sekaligus menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award tahun yang sama.  Puisinya terhimpun di dalam Antologi De Poetica (antologi puisi Indonesia-Malaysia-Portugis) dan cerpennya Rumah Besar Tanpa Jendela terhimpun dalam buku Horison Sastra Indonesia- Buku Cerpen dan diangkat menjadi film TV (La Tivi 2003). Cerpennya Sebatang Ceri di Serambi diterjemahkan ke bahasa Prancis (Un cerisier devant une  veranda) dimuat di majalah Le Banian (2013).  Tahun  2008 terpilih sebagai Budayawan/ Seniman Pilihan Anugerah Sagang dan tahun yang sama dianugerahi Seniman Pemangku Negeri (SPN) oleh Dewan Kesenian Riau. Tahun 2016 ini, buku puisinya terbaru Airmata Musim Gugur terpilih sebagai Buku Pilihan Anugerah Sagang, Riau dan buku tersebut menjadi 15 besar Buku Puisi Terbaik Indonesia menyisihkan 245 buku puisi lainnya. Tahun 2018, buku puisinya Airmata Batu meraih penghargaan Buku Pilihan Hari Puisi Indonesia (HPI). Sering mengikuti kegiatan sastra dan budaya sebagai pemakalah dan baca puisi  di Indonesia dan luar negeri  di antaranya 99’Cultural Exchange Programme- Unesco di Seoul dan Kyong Ju (Korsel), PPN IV Brunei Darussalam, PSN XVI Singapura, Baca Puisi Dunia Numera 2014 dan sebagainya. Bersama para penyair lainnya, Fakhrunnas tampil baca puisi di KPK, Jakarta dalam acara Puisi Menolak Korupsi. Bulan Oktber 2014, dia tampil sebagai pemakalah dan baca puisi pada acara 6th Meeting of Indonesia Literary di Paris ditaja oleh Ascosiation Franco-Indonesien (AFI). Kemudian April  2015 bersama penyair Ramon Damora selama sepekan menjadi dosen tamu  dan baca puisi di Institut National des Langues et Civilization Orientales (Institut Nasional Bahasa dan Kebudayaan Timur- Inalco), Paris (Prancis) serta berceramah/ baca puisi di Universitas Leiden, Belanda. Bulan Desember 2015 tampil baca puisi bersama tiga penyair Riau lain di acara Indonesia Creative, di Basel, Swiss yang ditaja Verrein Indonesia Schweiz (VIS). Bulan Oktober 2019 menyampaikan makalah pada Multiculturalism Seminar on Literature pada 4th Indonesia Cultural Forum (ICF) di Baku, Azerbaijan. Fakhrunnas sering baca puisi dalam berbagai iven sastra baik di dalam maupun luar negeri antara lain  Temu Penyair Serumpun di Singapura, Musyawarah Sastrawan Indonesia (Munsi) I di Jakarta  dan  Mahrajan Persuratan dan Seni Islam di Kota Kinabalu dan Membakut, Sabah (Malaysia). Bulan Juli menghadiri Temu Penyair 8 Negara di Banda Aceh dan Puncak Hari Puisi Indonesia (HPI) di Pekanbaru dan Forum Penyair Asean 2016 di Kuala Lumpur, September 2016 serta Senandung Tanah Merah II di Singapura, Februari 201 dan terakhir mengikuti Forum Masyarakat Kesenian Nasional (FMKN) di Jakarta. Tahun 2018 baca puisi pada Puisi dan Lagu Rakyat (Pulara) di Ipoh, Perak (Malaysia). Fakhrunnas sempat terpilih sebagai Pimpinan Sidang mewakili Indonesia Bagian Barat pada Kongres Kesenian Indonesia (KKI) 2015 di Bandung dan termasuk salah seorang dari 17 seniman yang ditetapkan oleh Mendikbud sebagai Tim Pengawal Rekomendasi KKI (2016-18). Selain itu dalam dunia kepenulisan, dia termasuk pendiri organisasi Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) bersama 41 penulis berbagai genre lainnya. Berkhidmat  sebagai dosen   sejak  1986 di kampus Universitas Islam Riau (UIR). Dalam dunia kewartawanan yang dilakoninya lebih dari 35 tahun, dia memulainya sebagai wartawan LKBN Antara Pekanbaru (1979) berlanjut Majalah Topik, Panji Masyarakat, Mingguan Genta, Harian Prioritas, Media Indonesia hingga Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Kini dia duduk sebagai Dewan Kehormatan PWI Riau Sedangkan pengabdiannya di  dunia public relations (15 tahun) diperankannya saat menjadi Manajer PR dan Deputy Director pada perusahaan pulp dan kertas, PT RAPP, Pangkalan Kerinci (Riau) dan kini menduduki posisi  Penasehat Serikat Media Siber  Indonesia  (SMSI)    Cabang  Riau  dan  Penasehat P .. Email: [email protected] , blog: BPC  Perhumas  Riau. Tinggal  di www.fakhrunnasjabbar.blogspot.com, WA 08127532100 dan  FB: Nas Jabbar dan  Nasjabbar1 ***