Menuntaskan Kemiskinan Melalui Sawit, Biodiesel Perlu Diimplementasikan di Indonesia


Dibaca: 891 kali 
Selasa, 13 Oktober 2020 - 20:08:24 WIB
Menuntaskan Kemiskinan Melalui Sawit, Biodiesel Perlu Diimplementasikan di Indonesia Webinar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’ di Jakarta, Senin (13/10/2020).

Jakarta, Hariantimes.com - Penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Yang menjadi latar belakang dari penggunaan biodiesel di Indonesia adalah fakta, bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia. 

“Betapa bersyukurnya kita, bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita posisi sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Karena tidak semua negara bisa menanam sawit. Sehingga cinta sawit itu perlu kita terapkan. Kemudian cinta penggunaan bahan bakar nabati juga makin diketatkan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Parulian Tumanggor yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara dalam Webinar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’ di Jakarta, Senin (13/10/2020).

Pria yang akrab disapa Pak Tum ini memaparkan, penggunaan biodiesel juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi. 

“Kita bisa menggunakan produk nabati kita menjadi energi nasional. Dan kita juga perlu menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah beragam alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya. 

Tak ketinggalan, Tumanggor juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas peran Presiden RI Joko Widodo, serta seluruh jajarannya atas komitmennya dalam mencanangkan B30, B40, hingga B100. 

Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan, masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik.

Dan posisi APROBI yang beranggotakan 19 perusahaan, sebut Tumanggor, hanya berperan sebagai ‘tukang jahit’. APROBI sebagai produsen biofuel membeli CPO dari masyarakat dan perusahaan untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini nantinya akan dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina. 

“Agar jangan ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat, seakan-akan produsen ini tadi mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP, Rp15 triliun atau Rp20 triliun hanya dinikmati oleh 19 perusahaan. Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekita saat ini US$90 per ton," tegas Tumanggor.

Terkait insentif yang didapatkan APROBI, Tumanggor dengan tegas mengatakan, yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN. Tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit.

Sementara itu, Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo yang hadir sebagai keynote speaker mengungkapkan, sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, pihaknya mendukung penuh upaya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit, karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia.(*)