Kajati Riau Uji Sahih RUU Kejaksaan Bersama Pascasarjana UIR


Dibaca: 1651 kali 
Kamis, 01 Oktober 2020 - 14:21:23 WIB
Kajati Riau Uji Sahih RUU Kejaksaan Bersama Pascasarjana UIR Direktur Pascasarjana UIR Prof Dr H Yusri Munaf memberi sambutan sekaligus membuka FGD RUU Kejaksaan.

Pekanbaru, Hariantimes.com - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau melakukan uji sahih Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan bersama Program Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR).

Uji sahih RUU Kejaksaan itu dilakukan pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung selama empat jam lebih, Rabu (30/09/2020).

FGD ini dibuka oleh Direktur PPs Prof Dr H Yusri Munaf SH MHum dan menghadirkan Dr Muzakkir SH MHum (Dosen Fakultas Hukum UII) sebagai pembicara utama.

Turut dalam diskusi terbatas yang dipandu Dr Musa, SH MH dan H Husnu Abadi SH MHum PhD sejumlah dosen dan praktisi hukum. Antara lain Yusri Sabri SH MH, Abdul Haris Rusli SH MH dan Toni Pribadi SH MH (Advokat/Peradi), Dr Zulkarnain Sanjaya SH MH dan Dr Heni Susanto SH MH (Fakultas Hukum UIR), Dr Erdianto Effendi dan Dr Maxsasai Indra SH MH (Fakultas Hukum Universitas Riau), Muhammad Darwis SH MH (UIN Susqa), Robert Libra SH MH (Fak. Hukum Unilak), Dr Irfan Ardiansyah SH MH (STIH Persada Bunda. Kajati Riau Dr Mia Amiati bersama Staf juga terlibat aktif menyimak jalannya FGD dari Kejaksaan Tinggi Riau di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru. 

Sementara Rektor UIR Prof Dr Syafrinaldi  dan Dekan Fakultas Hukum UIR Dr Admiral SH MH juga melakukan hal sama melalui saluran youtube yang ditayang on live. 

Dalam paparan bertajuk, "Pengingsutan Paradigma Kewenangan Kejaksaan Dalam Ketentuan RUU Perubahan Kejaksaan RI", Muzakkir mengulas beberapa point terkait kewenangan jaksa. Seperti masalah independensi kejaksaan yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya, domonus litis, kejaksaan sebagai badan peradilan, kejaksaan sebagai single prosecutors, kewenangan penyadapan dan pengawasan.

Dalam pandangan Muzakkir, tidak ada perubahan secara total atas kewenangan jaksa dalam RUU Kejaksaan. Namun ia mengaku memberi attensi atas rancangan undang-undang itu karena masalah revisi ini terkait juga dengan Rancangan Undang Undang KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) dimana dirinya ikut serta dalam tim. ''RUU KUHAP mau tidak mau menggeser sejumlah kewenangan kejaksaan yang menjadi bagian dari RUU Kejaksaan,'' kata ahli pidana UII Yogyakarta itu.

Muzakir kemudian merujuk kepada Pasal 24 UUD 1945 terutama terkait dengan kewenangan kekuasaan kehakiman. 

Menurutnya, kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD 1945 diatasi oleh dua lembaga tinggi, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jaksa merupakan supporting dari kekuasaan kehakiman yang separoh bodynya ada di kekuasaan kehakiman dan separoh lainnya berada di eksekutif.

''Ketika jaksa menjalankaan kekuasaan di peradilan, maka itu berarti ia menjalani kekuasaan kehakiman dalam wilayah eksekutif,'' tukas Muzakkir.

Konsekuensinya jaksa harus menundukkan diri kepada Pasal 24 UUD 1945, yakni merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka dari kekuasaan manapun. Tanggung jawabnya adalah tanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Ia tidak tunduk kepada atasan dan harus bekerja secara profesional sebagai jaksa penuntut umum. Serta pro pada penegakkan hukum.

Sebagai penuntut, Muzakkir menyatakan, Jaksa memiliki karakter sama seperti hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang bertugas mensuplay material perkara kepada peradilan, dan mensandarkan tuntutannya kepada "Demi Ketuhanan Yang Maha Esa". 

''Output dari tuntutan jaksa harus menjadi input bagi peradilan,'' ucap Muzakkir.

Muzakkir lalu mengulas sejumlah pergeseran kewenangan kejaksaan yang terdapat RUU. Hal senada disampaikan peserta FGD, Abdul Harris Rusli SH MH misalnya, sependapat bila jaksa adalah penuntut tunggal. 

Tetapi Muzakir tidak setuju dengan materi RUU yang juga memberi jasa hukum kepada jaksa. Ini berbeda dengan kewenangan jaksa sebagai pengacara negara. 

''Soal penahanan, kami minta supaya kewenangannya diberikan kepada hakim. Bukan kepada jaksa. Sebab penahanan itu merupakan perampasan hak seseorang, dan hal tersebut hanya dapat diberikan kewenangannya kepada hakim,'' ucap Advokat Haris.

Begitupun Zulkarnain Sanjaya. Selain menyoroti masalah keadilan retributif yang telah bergeser ke keadilan restoratif, Dosen Fakultas Hukum UIR ini mengusulkan perlunya dipertimbangkan kembali pemberian kewenangan penyadapan kepada jaksa. Sebab masalah ini terkait dengan hak asasi manusia. ''Jaksa harus tetap profesional bertugas, jangan sampai pelaksanaan tugasnya melanggar hukum,'' imbuh Zulkarnain.

Direktur PPs UIR Prof Yusri Munaf mengatakan, semua pemikiran yang berkembang selama FGD akan menjadi masukan untuk pembahasan perubahan RUU Kejaksaan. 

''Ini merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai akademisi dan penegak hukum dalam memberi pemikiran terbaik bagi bangsa dan negara,'' kata Yusri Munaf.(*)