Pekanbaru, Hariantimes.com - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau lebih dikenal dengan Perpres Publisher Rights, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, 20 Februari 2024, jelang peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2024, masih menimbulkan pro dan kontra.
Wartawan Senior dan Praktisi Pers Wina Armada Sukardi dengan tegas meminta pemerintah mencabut Perpres yang tidak jelas juntrungannya itu. Tapi anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro tetap ingin memberlakukan Perpres itu enam bulan ke depan.
Sementara Dewan Pakar SMSI Zulmansyah Sekedang cenderung moderat. Sambil menunggu Perpres itu dicabut atau direvisi, anggota SMSI diharapkan tetap mengurus verifikasi Dewan Pers terhadap perusahaan pers agar peluang kerjasama dengan perusahaan platform digital dapat terlaksana sebagaimana ketentuan Pasal 6 Perpres tersebut.
Sikap pro dan kontra itu muncul dalam Diskusi bertajuk ‘’Masa Depan Media Pasca Terbitnya Perpres Publisher Rights’’ yang ditaja Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Riau di Auditorium H Ismail Suko Pustaka Wilayah Soeman HS Provinsi Riau, Pekanbaru, Senin (29/04/2024). Diskusi ini dimoderatori oleh H. Fendri Jaswir.
Kegiatan itu dibuka Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Kadiskominfotik) Provinsi Riau Ikhwan Ridwan diwakili Sekretaris Diskominfotik Provinsi Riau Devi Rizaldi SSTP MSi. Acara ini dihadiri Ketua Bidang Kerja Sama SMSI Pusat Novrizon Burman, Plt Ketua SMSI Riau Luna Agustin dan Ketua PWI Riau Raja Isyam Azwar.
Wina Armada Sukardi mengatakan Perpres Publisher Rights ini dibuat dengan filosofi dan metodologi yang salah sehingga kesimpulannya pun salah. Jika nanti dilaksanakan, maka akan menjadi blunder dan mengiring pers Indonesia menuju replika rezim pers belenggu ala Orde Baru.
Bahkan mengaburkan dan menggabungkan kembali code of publication dengan code of interprese, tepat seperti SIUPP dulu.
'"Saya tegaskan, terbitnya Perpres ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta mengancam kesinambungan kemerdekaan pers,'' tegas anggota Dewan Pers era Bagir Manan itu.
Karena itu, Wina Armada meminta agar Perpres ini dicabut karena tidak ada gunanya bagi kemajuan pers. ''Kalau pemerintah masih bersikukuh, diupayakan ada judial review ke Mahkamah Agung," tegasnya.
Salah kaprah
Wina mengupas lebih dalam tentang Perpres tersebut. Menurutnya, dari judul saja Perpres ini sudah salah kaprah. "Dari judulnya saja, jelas terang benderang udah ngaco banget. Kacau sekali. Masak, kualitas jurnalistik dituntut menjadi tanggung jawab platform digital," tegas pakar hukum dan etika pers ini.
Lantas apa yang dimaksud jurnalisme bermutu? Wina menjelaskan, 1) Setiap redaksi memiliki karakter dan penilaian “berita berkualitas” sendiri-sendiri. 2) Ada independensi news room yang tidak boleh dicampuri pihak lain. 3) Sepanjang telah sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), karya pers layak ”fit to print” atau disiarkan/ditayangkan. Dan 4) Pengawasan Kode Etik pada Dewan Pers dan Organisasi Wartawan.
"Karya “komersial” dan ”karya bermutu” dalam jurnalistik dapat sama ada satu berita, tetapi juga dapat berbeda," katanya.
Pertanyaannya, kata Wina, tanggung jawab siapa peningkatan mutu jurnalisme tersebut?
Yang jelas, mutu jurnalisme itu tanggung jawabnya redaksi atau perusahaan pers masing-masing, Dewan Pers, Organisasi Wartawan.
"Mutu jurnalisme itu tidak boleh ada campur tangan dari manapun terhadap pers nasional," katanya.
Apakah terhadap perusahaan platform digital yang tidak tahu menahu soal kualitas jurnalisme dapat dituntut harus melakukan peningkatan mutu jurnalistik atau jurnalisme yang berkualitas?
Wina menyebutkan, dalam unsur menimbang huruf “a’ disebut, “bahwa jurnalisme berkualitas sebagai salah satu unsur penting dalam mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang demokratis perlu mendapat dukungan perusahaan platform digital.”
Lalu apa hubungan ”dukungan” perusahaan platform digital dengan “mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang demokratis di Indonesia?"
''Mereka lembaga ekonomi dan bukan politikus.
Apa hubungannya perusahaan platform digiltal dengan dukungan terhadap jurnalisme berkualitas? Apa manfaatnya buat mereka?,'' ujarnya.
Dalam unsur menimbang huruf “b” disebutkan, ”bahwa perkembangan teknologi informasi mendorong perubahan besar dalam praktik jurnalisme berkualitas salah satunya dengan kehadiran perusahaan platform digital. Sehingga, pemerintah perlu menata ekosistem perusahaan platform digital dalam hubungannya dengan perusahaan pers untuk mendukung jurnalisme berkualitas.”
Sebenarnya, sebut Wina, yang mau diatur ekosistem yang menyangkut perusahaan platform digital dan perusahaan pers, ataukah juga pada subtansi jurnalistiknya (sehingga harus berkualitas). Ada bahaya pencampur adukan antara urusan perusahaan pers (code of interprese) dan urusan kemerdekaan redaksi (code of publication).''
"Dalam pasal 1 ayat 1 Perpers No 32 Tahun 2024 diterangkan, Tanggung Jawab Perusahaan Digital adalah kewajiban perusahaan digital menjaga ekosistem bisnis pemberitaaan yang sehat untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas," sebut Wina.
Dua kesalahan paradigma dari rumusan ini:
1. Seharusnya tanggung jawab perusahaan platform digital berada pada wilayah korporasi seperti membayar pajak, menaati hukum Indonesia dan sebagainya. Bukan malah tanggungjawabnya disuruh menjaga kualitas jurnalisme.
2. Ini memberikan hak perusahaan platform digital ikut “turut campur tangan” dalam bisnis pemberitaan yang sehat, sesuatu yang bertentangan dengan UU Pers. Dampak mengatur ekosistem bisnis pemberitaan akan sangat luas terhadap kehidupan kemerdekaan pers. Perusahaan pers sendiri saja tidak pernah ”dipaksa” membuat redaksinya bermutu.
Apa itu perusahaan platform digital? Wina memaparkan, Pasal 1 ayat 9 Perpres No 32 Tahun 2024 merumuskan perusahaan platform digital adalah penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat yang menyediakan dan menjalankan layanan platform digital serta memanfaatkannnya untuk tujuan komersial melalui pengumpulan dan pengolahan data.
Tidak disebut terkait dengan penentuan jurnalisme, apalagi yang berkualitas. Hanya memang kemudian disebut menjalankan “layanan digital” seperti disebut dalam pasal 1 ayat 4.
Pasal 1 ayat 4 Perpers No 32 Tahun 2024 menjelaskan, layanan platform digital adalah layanan milik perusahaaan platform digital yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pendistribusian dan penyajian berita secara digital serta interaksi dengan berita yang berfungsi memperantarai layanan berita yang ditujukan untuk bisnis.
''Apa bedanya dengan rumusan perusahaan pers? Dan kalau sama dengan perusahaan pers harus diperlakukan sesuai dengan perusahaan pers berdasarkan UU Pers No 40 tahun 1999," tanya Wina.
Menurut Wina, tujuan Perpres itu sudah jelas. Dimana Pasal 2 Perpres menentukan, Peraturan Presiden ini bertujuan mengatur tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnaisme berkualitas agar berita yang merupakan karya jurnalistik dan dihargai kepemilikannya secara adil dan transparan.
Pengertiannya, agar “berita yang merupakan karya jurnalistik dan dihargai kepemilikikannya secara adil dan transparan”. Apa maksudnya? Bagaimana menentukan “kepemilikanya secara adil?” Siapa yang menentukan adil? Bagaimana hubungannya dengan hak cipta, UU Pers dan bidang keperdataan lainnya?
Padahal, lanjut Wina, kewajiban perusahaan platform digital itu tidak memfasilitasi penyebaran dan/atau tidak melakukan komersialisasi konten berita yang tidak sesuai dengan UU mengenai pers setelah menerima laporan melalui sarana pelaporan yang disediakan oleh perusahaan platform digital;
Lalu, memberikan upaya terbaik untuk membantu memperioritaskan fasalitasi dan komersiaslisasi berita yang diproduksi oleh perusahaan pers serta memberikan perlakuan yang adil kepada semua perusahaan pers dalam menawarkan layanan platform digital; melaksanakan pelatihan dan program yang ditujukan untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas dan bertanggung jawab;
Selanjutnya, memberikan upaya terbaik dalam mendisain algoritma distribusi berita yang mendukung perwujudan jurnalisme berkualitas sesuai dengan nilai demokrasi, kebhinekaan dan peraturan perudangan-undangan dan bekerjasama dengan perusahaan pers.
Pertanyaannya, kata Wina, dimana peranan perusahaan pers sendiri terhadap kerja wartawan dan peningkatan kualitas beritanya?
''Bukankah semua berita yang keluar dari perusahaan pers harusnya sudah berkualitas, taat KEJ dan layak tayang/siar dan bukan ditentukan oleh perusahaan platform digital?,'' paparnya.
Kenapa yang sudah lolos dari perusahaan pers harus “diseleksi” lagi oleh perusahaan platform digital? Bagaimana dengan keterkaitan dengan penyelenggaraan Standar Kompetensi Wartawan dan penataan terhadap Kode Etik Jurnalistik?
Kemudian, bagaimana menentukan perlakuan yang adil kepada semua perusahaan pers dalam menawarkan layanan platform digital? Bukankah selama ini semua sudah bebas memakai layanan platform digital tanpa diskrimintatif?
Apakah layak perusahaan platform digital yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan jurnalisme harus melaksanakan pelatihan dan program untuk jurnalistik berkualitas? Bukankah ini kewajiban perusahaan pers, organisasi-organisasi perusahaan pers dan Dewan Pers? Bukankah algoritma harus diberlakukan secara sama dan terbuka untuk siapa saja?
Dikatakan Wina, kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers harus dituangkan dalam perjanjian. Ini berarti harus ada kebebasan dan kesetaraan berkontrak dalam perjanjian. Tidak boleh ada yang memaksa. Boleh ada bentuk lain yang disepakati para pihak sesuai kebebasan berkontrak.
Perpres ini juga mengatur kerjasama dalam perjanjian mengatur soal: a. lisensi berbayar; b. bagi hasil, merupakan pembagian pendapatan atas pemanfaatan berita oleh perusahaan platform digital yang diproduksi perusahaan pers berdasarkan perhitungan nilai keekonomian; c. berbagi data agregat pengguna berita, dan atau/ d. bentuk lainnya yang disepakati.
Wina mempertanyakan nilai keekonomian seperti apa dan untuk menguntungkan siapa? Tentu keekonomian dari para pihak yang membuat perjanjian. Ini menyangkut kebebasan melakuan perjanjian. Harus ada kesetaraan antara para pihak. Juga berlaku asas reprositas. Asas timbal balik.
”Kalo gue harus membayar waktu mengambil punya loe, maka loe juga harus membayar yang loe ambil dari punya gue. Harus ada hitung-hitungan lebih banyak manfaat atau mudaratnya. Kalau para pihak tidak setuju, tiudak boleh ada pemaksaan. Perpres menjadi dapat tidak berguna sama sekali," ujar Wina.
Terkait penyelesaian sengketa, ungkap Wina, Pasal 8 menyebutkan, jika terjadinya sengketa antara perusahaan platform digital dengan perusahaan pers, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat mengajukan ke pengadilan umum, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa dan dilakukan secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
''Tak disebut ada lembaga lain yang boleh mengatur atau menyelesaikan sengketa kasus perusahaan platform digital dan perusahaan pers,'' katanya.
Sementara soal komite, kata Wina, Pasal 9 menyebutkan, Komite yang melaksanakan tugasnya bersifat independen dibentuk dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
"Tidak ada alasan mengapa Dewan Pers harus membentuk Komite. Tidak jelas logikanya. Pada tahap ini, nyata pemerintah sudah ikut campur dan menekan Dewan Pers untuk membentuk Komite. Padahal menurut UU Pers tidak ada tugas dan kewajiban Dewan Pers membentuk Komite. Dengan pasal ini Dewan pers sudah tidak independen lagi,'' cocornya.
Menurut Wina, Dewan Pers hanya membentuk Komite, tetapi setelah itu tidak punya lagi kontrol dan pengendalian kepada Komite. Komite melapornya ke menteri, bukan ke Dewan pers.
Tugas Komite pada Perpres ini, sebut Wina, memastikan terlaksananya tujuan Perpres. Fungsinya, untuk pengawasan dan pemberian fasilitas pemenuhan pelaksanaan kewajiban perusahaan platform. Komite ini juga bertugas memberikan rekomendasi kepada menteri atas hasil pengawasan dan pelaksanaan fasilitasi dalam arbitrase antara perusahaan platform digital dan perusahaan pers (sebagaimana dimaksud pasal 8) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ini jelas menempatkan menteri sebagai pemegang kekuasaan lebih tinggi dari komite. Ini tepat sama ketika dalam UU pers yang lama, Dewan Pers memberikan rekomendasi kepada Menteri Penerangan.
"Ini sebuah kemunduran. Pers telah kehilangan independensinya. Dengan kebebasan berkontrak antara perusahaan platform digital dan perusahaan pers secara independen, komite sebenarnya sudah tidak dapat ikut campur lagi," katanya.
Unsur pemerintahan dalam komite, sebut Wina, juga kuat. Sesuai Pasal 14 anggota Komite sebanyak-banyaknya 11 orang, terdiri dari 5 orang dari unsur Dewan Pers, 5 orang dari unsur pakar dan seorang dari kementerian.
Walaupun hanya satu unsur pemerintah, unsur pakar ditunjuk oleh pemerintah (Kemenkopolhukam). Maka dengan enam anggota kemungkinan ketua dari unsur kepentingan pemerintah. Dengan demikian ada enam orang yang mewakili kepentingan pemerintah.
"Tak syak lagi pemerintah sudah menguasai Komite. Mencampuri urusan pers. Ini kembali ke paradigma UU Pers lama dan melanggar UU Pers No 40 Tahun 1999," katanya.
Selain itu, sumber pendanaan Komite berasal dari organisasi pers; perusahaan pers; bantuan dari negara; dan/atau bantuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
''Bagaimana Komite mau membantu perusahaan pers, kalau sumber dananya salah satunya malah dari perusahaan pers sendiri? Komite malah membebani perusahaan pers. Kalau sebagian besar dari negara lewat pemerintah maka pemerintahlah yang berkuasa mengatur Komite," kata Wina.
Kehadiran Komite di tengah upaya pemerintah ini mengurangi lembaga atau organisasi yang tidak penting merupakan pemborosaan keuangan negara dan perusahaan pers. Secara tidak langsung Komite telah mengambil alih independen pers dalam mengatur dirinya sendiri. Jadi merupakan pengekangan terhadap kemerdekan pers.
Bentuk Komite
Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro mengatakan pihaknya sudah membentuk tim seleksi untuk membentuk Komite sebagaimana diamanatkan Perpres Nomor 32 Tahun 2024 ini.
''Kita berupaya agar orang-orang yang terpilih betul-betul berjuang sebagaimana tujuan dari Perpres ini. Komite ini nanti akan bersifat independen,'' ujarnya.
Menurut Ketua Ketua Komisi Penelitian Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers ini, kerjasama dengan perusahaan platform digital ini merupakan salah satu peluang untuk pemasukan uang untuk perusahaan pers. Sebab, potensinya cukup besar yakni Rp 68 triliun dan itu 75 persen merupakan perusahaan platform digital global.
Namun, perusahaan pers masih bisa berkreasi dengan bentuk kerjasama-kerjasama lain atau pola bisnis yang cepat menguntungkan. ''Jadi bukan hanya dari perusahaan platform digital saja. Tapi memang potensinya cukup besar,'' kata Sapto.
Sementara Dewan Pakar SMSI Zulmansyah Sekedang mengatakan SMSI memang satu-satunya konstituen Dewan Pers yang menantang pengesahan Perpres ini. Sebab, sebagian besar dari 2.800 lebih anggota SMSI adalah perusahaan pers kecil dan menengah.
Namun karena Perpres ini sudah disahkan pemerintah, katanya, sebaiknya anggota SMSI mengikuti dulu dengan mempercepat verifikasi Dewan Pers. Persoalannya, bagaimana verifikasi ini bisa lebih mudah dan tidak dipersulit oleh Dewan Pers.(*)