Kanal

Erdiansyah: Semua Pihak Harus Menghormati Putusan MA

Pekanbaru, Hariantimes.com - Rumah Nawacita menggelar diskusi media bertajuk "Momentum Reforma Agraria Pasca-Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1087 K/Pid.Sus.LH/ 2018 di Kabupaten Pelalawan, Riau" di Pekanbaru, Kamis (30/01/2020) malam.

Diskusi yang dihadiri puluhan wartawan berbagai media massa ini menghadirkan tiga narasumber. Yakni Pakar Hukum Pidana Universitas Riau Erdiansyah SH MH, Perwakilan masyarakat Gondai Firman serta Founder Rumah Nawacita-Relawan Jokowi Center Indonesia (RJCI) Raya Desmawanto MSi.

Dalam diskusi ini, ketiga narasumber memaparkan benang merah persoalan konflik eksekusi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 3.323 hektare (ha) antara PT Nusa Wana Raya (NWR) dengan PT  Peputra Supra Jaya (PSJ) di Kecamatan Langgam, Pelalawan. Akibat konflik ini, ribuan petani plasma perkebunan sawit yang dibangun PT PSJ ikut menjadi korban.

Bagaimana tidak? Karena lahan kebun sawit milik petani plasma  seluas 3.323 ha itu kini sedang dalam proses eksekusi oleh Dinas Lingkungan dan Kehutanan Provinsi Riau. Eksekusi ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung. Dimana pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 dengan objek lahan perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan negara seluas 3.323 hektar di Kecamatan Langgam tersebut sudah tepat secara hukum. Sebab sudah berkekuatan hukum tetap (incrah). Jadi, tak seorangpun yang bisa menghalangi eksekusi tersebut.

Bunyi amar putusan MA itu sudah jelas dan mengikat. Pertama, PT Peputra Supra Jaya (PSJ) secara terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu yang tidak memiliki izin usaha perkebunan (IUP)

"Terkait hal ini, atas nama kemanusiaan dan peduli terhadap masyarakat kecil, perlu terobosan win-win solution, jalan tengah, terhadap petani sawit yang terdampak sengketa lahan dan putusan MA tersebut," ujar Pakar Hukum Pidana Universitas Riau Erdiansyah SH MH.

Masih terkait amar putusan MA tersebut, beber Erdiansyah, terhadap lahan seluas 3.323 hektar yang menjadi barang bukti itu dirampas untuk dikembalikan kepada negara melalui Dinas Kehutanan c.q PT Nusa Wana Raya (WNR). 

"Jadi menurut saya, semua pihak harus menghormati putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Dan kalaupun ada upaya hukum yang dilakukan pihak lain, itu tidak menghalangi proses eksekusi terhadap lahan atau objek perkara," tegas Erdiansyah seraya menyampaikan pandangan, bahwa konflik lahan yang terjadi di Pelalawan tersebut sebenarnya juga terjadi di sejumlah daerah di Riau.

"Ini menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap inventarisasi lahan. Dan kedepan,  pemerintah daerah harus ikut secara aktif menelusuri dan melakukan pendataan lahan-lahan hutan yang ada," katanya.

Terkait konflik lahan tersebut, Founder Rumah Nawacita-Relawan Jokowi Center Indonesia (RJCI), Raya Desmawanto MSi meminta pemerintah memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap izin perusahaan konsesi yang memiliki legalitas sesuai putusan MA tersebut.

Apalagi, ungkap Raya Desmawanto, Pemerintah Provinsi Riau telah membentuk Satgas Penertiban Lahan/ Hutan Ilegal yang ditetapkan melalui SK Gubernur Riau nomor: 1078/IX/2019 tertanggal 25 September 2019, yang memiliki kewenangan untuk menelisik dan menyelidiki legalitas penguasaan lahan/ hutan yang menjadi sengketa antara PT NWR dan PSJ. Dan hasil pemeriksaan Satgas tersebut akan menjadi pintu masuk untuk mengarahkan lahan-lahan tersebut sebagai objek reforma agraria, apakah diselesaikan dengan skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) ataupun Perhutanan Sosial (PS).  

Soal penataan agraria lewat program reforma agraria, ungkap Raya Desmawanto, hal itu sudah  diatur secara lengkap lewat Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH), Peraturan Presiden nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria serta Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor 3 tahun 2018  tentang Pedoman Pelaksaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Inver PTKH).

Berkaitan dengan program reforma agraria tersebut, sambung Raya Desmawanto, Rumah Nawacita menilai pemerintah harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap izin perusahaan konsesi yang memiliki legalitas sebagaimana sesuai putusan MA di atas.

"Jadi dalam kasus ini, dugaan lahan ilegal yang dikuasai PT PSJ seluas 4.500 hektar,  di luar lahan yang disengketakan dengan PT NWR  yang dijadikan objek reforma agraria. Dengan demikian, masyarakat akan bisa menjadi subjek penerima program reforma agraria pada areal tersebut. Dan ini bisa menjadi semacam opsi yang bersifat win-win solution bagi masyarakat yang terimbas dalam konflik tersebut, " katanya. 

Raya Desmawanto menegaskan, kasus hukum ini seyogianya menjadi pintu masuk bagi negara untuk melakukan penataan agraria pada lahan/hutan baik yang berada lama kawasan hutan atau non kawasan hutan untuk dapat dikelola oleh masyarakat secara tepat sasaran. Ini pasti dan efektif untuk menopang ekonomi masyarakat.

"Rumah Nawacita akan mengawal dan ikut mendampingi proses reformasi agraria pada areal tersebut. Sehingga, objek dan subjek reforma agraria benar-benar tepat sasaran, berkeadilan dan produktif. Dan setelah rumusan ini, segera kita sempurnakan. Selanjutnya kita akan mengirimkan surat secara resmi dan bertemu dengan Gubernur Riau serta pihak kementrian agar opsi yang kita tawarkan ini dalam menuntaskan konflik lahan di Pangkalan Gondai dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya," ujar Raya Desmawanto.

Seperti diketahui, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 dengan objek lahan perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan negara seluas 3.323 hektar di Kecamatan Langgam, Pelalawan telah berkekuatan hukum tetap dan proses eksekusi putusan tersebut telah dilakukan dan masih terus berjalan sampai saat ini.

Putusan tersebut membuka fakta baru, bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan PT PSJ tersebut ternyata berada dalam kawasan hutan yang telah dibebankan haknya oleh negara kepada PT Nusa Wana Raya (NWR). Di mana objek putusan tersebut adalah bagian dari hutan tanaman industri yang dibebankan hak hutan tanaman industri (HTI) PT NWR.

Dan berdasarkan penelusuran di situs www.mongabay.co.id, ungkap Raya Desmawanto, lahan yang dikelola PT Peputra Supra Jaya sesuai SK Bupati Pelalawan nomor: Kpts.525.3/DISBUN/2011/113 tanggal 27 Januari 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan-Budidaya (IUP-B) adalah seluas 1.500 hektar.  Namun berdasarkan investigasi, diperoleh informasi bahwa secara faktual PT PSJ diduga kuat mengelola atau mengerjakan lahan seluas 9.324 hektar. Di dalam keseluruhan lahan yang dikelola tersebut, seluas 3.323 hektar adalah merupakan objek dalam putusan MA yang telah dan sedang dieksekusi.

Namun terlepas dari persoalan hukum yang menjerat PT PSJ serta keputusan hukum dari MA yang harus dihormati semua pihak, tegas Raya Desmawanto, sudah sepatutnya hasil pemeriksaan Satgas menjadi pintu masuk untuk mengarahkan lahan-lahan tersebut sebagai objek reforma agraria, apakah diselesaikan dengan skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) ataupun Perhutanan Sosial (PS). Dengan demikian, masyarakat yang terkena dampak dari putusan MA tersebut sebaiknya dan seharusnya mendapat prioritas utama sebagai subjek penerima objek reforma agraria.

"Dan ini akan segera kami usulkan dan kawal hingga bisa diwujudkan," tegas Raya Desmawanto seraya menegaskan, Rumah Nawacita dalam kasus ini tidak berada di salah satu pihak yang bersengketa.

"Kami ingin masalah ini selesai secara baik. Ada win-win solution dan masyarakat (petani sawit) yang terdampak sengketa tetap memiliki harapan ke depannya," harap Raya Desmawanto.

Sementara perwakilan masyarakat Gondai, Firman yang ikut dihadirkan dalam diskusi tersebut menginformasikan, bahwa hampir 90 persen dari anggota koperasi kebun plasma KKPA dengan PT Perputra Supra Jaya, bukan masyarakat  tempatan.

"Saya anak jati Gondai dan saya bisa tegaskan di sini, mereka adalah masyarakat luar yang datang ke Kabupaten Pelalawan dan kemudian membeli keanggotaan koperasi," pungkas Firman yang mengaku cucu dari pendiri Koperasi Sri Gumala Sari sebagai koperasi kebun plasma pertama di Gondai sebelum akhirnya pecah menjadi delapan koperasi yang saat ini bermitra dengan PT PSJ.

"Harapan kami, sengketa hukum yang terjadi saat ini agar tetap memperhatikan nasib masyarakat di Pangkalan Gondai. Meski dalam faktanya,  pemilik lahan sawit yang akan dieksekusi tersebut sebagian besar bukan warga asli Gondai. Namun kami tetap berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan baik tanpa mengorbankan masyarakat tanpa solusi apa-apa. Dan jika nanti program reformasi agraria seperti yang disampaikan Rumah Nawacita ini dapat terlaksana,  kami berharap benar-benar memperhatikan nasib masyarakat tempatan," ujar Firman yang mengaku lahir dan besar di daerah tersebut.(*)


Penulis: Zulmiron

Berita Terkait

Berita Terpopuler